Khamis, 21 Februari 2013

Do'a adalah IBADAH

 

Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Turmudzi menunjukkan bahwa do’a merupakan jenis ibadah yang paling penting. Kerana shalat tidak boleh ditujukan kepada Rasul atau wali. Demikian pula do’a.
1.Orang yang mengatakan “ya Rasululloh” atau “Hai orang yang ghaib, berilah aku pertolongan dan anugerah”, berarti berdo’a kepada selain Allah, meskipun niatrnya bahawa yang memberi pertolongan itu Allah. Demikian pula orang yang berkata,”saya shalat untuk Rasul atau wali” meskipun dalam hatinya untuk Allah, shalat seperti itu tidak akan diterima, karena ucapannya berlawanan dengan hatinya. Ucapan harus sesuai dengan niat dan keyakinan. Bila tidak demikian maka perbuatannya termasuk syirik yang tidak diampuni selain dengan taubat.
 2.Apabila ia mengatakan yang diniatkan adalah Nabi atau wali itu sebagai perantara kepada Allah, seperti menghadap raja, perlu seorang perantara maka yang demikian itu merupakan menyamakan (tasybih) Allah dengan makhluk yang dhalim. Tasybih seperti itu akan membawanya kepada kekufuran. Padahal Allah telah berfirman yang menyatakan kesucian-Nya daripada penyamaan dengan makhluk-Nya baik dalam zat, maupun sifat-Nya. Firmannya : ] ليس كمثله شيء وهو السميع البصير [ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (As-Syura : 11).
 3.Orang-orang musyrik pada zaman Nabi Shallallahu'alaihi wasallam meyakini bahwa Allah pencipta dan pemberi rezki, tetapi mereka berdo’a kepada wali-wali dan pelindung mereka (patung). Mereka beranggapan bahawa patung-patung itu menjadi perantaraan yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Ternyata Allah tidak menerima perbuatan mereka itu bahkan mengkafirkan mereka dengan firmanNya : ] وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ[ (3) سورة الزمر “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata: kami tidak menyembah mereka kecuali hanya agar mereka dapat mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh Allah tidak memberikan petunjuk kepda orang-orang yang dusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar ; 3). Allah itu dekat dan mendengar, tidak perlu perantara. Firmannya : ] وإذا سألك عبادي فإني قريب [ “Apabila hambaKu bertanya kepadamu tentang diriKu, maka sesungguhnyaAku dekat.” (Al-Baqarah : 186).
 4.ang-orang musyrik apabila berada dalam bahaya, mereka berdo’a hanya kepada Allah saja, tetapi setelah selamat dari bahaya mereka berdo’a kepada pelindung-pelindungnya berupa patung-patung, sehingga Allah menyebut mereka sebagai orang kafir. Firmannya : ] وَجَاءهُمُ الْمَوْجُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّواْ أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُاْ اللّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنِّ مِنَ الشَّاكِرِينَ[ (22) سورة يونس “Dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya dan mereka yakin bahwa mereka dalam kepungan bahaya, mereka berdo’a kepada Allah dengan ikhlas semata-mata kepadanya. Mereka berkata :sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”(Yunus : 22). Maka kenapa sejumlah orang Islam berdo’a kepada para rasul dan orang-orang shaleh (selain Allah). Mereka meminta pertolongan daripadanya, baik di waktu susah maupun gembira. Apakah mereka tidak membaca firman Allah : ]وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ} (5)وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاء وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ[ سورة الأحقاف “Siapa yang lebih sesat daripada orang yang berdo’a kepada selain Allah, yaitu kepada orang yang tidak dapat memberikan pertolongan sampai hari kiamat, sedangkan mereka sendiri lalai akan do’a mereka. Dan apabila mereka dikumpulkan pada hari kiamat, niscaya sembahan mereka akan menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan mereka.” (Al-Ahqaf : 5-6).
 5.Banyak orang yang menyangka bahawa kaum musyrikin yang disebut dalam Al-Qur’an itu adalah orang yang menyembah patung yang terbuat dari batu. Anggapan itu keliru, sebab patung-patung itu dahulunya adalah nama-nama orang shaleh. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu'anhu mengenai firman Allah dalam surat Nuh : ] وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا[ (23) سورة نوح “Dan mereka berkata : jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhanmu dan jangan pula meninggalkan WADD, SUWA, YAGHUTS, YA’UQ dan NASR. (Nuh : 23). Ibnu Abbas mengatakan bahwa nama-nama tersebut adalah nama-nama orang-orang shaleh umat nabi Nuh A.S. Setelah mereka mati, setan membisikkan kepada para pengikutnya agar di tempat duduk mereka, didirikan monumen-monumen yang diberi nama dengan nama mereka. Mereka melaksanakannya namun patung-patung itu belum sampai disembah. Setelah pembuat patung-patung itu mati dan generasi berikutnya tidak lagi mengetahui asal-usulnya, patung-patung itu akhirnya disembah.
 6.Allah membantah orang-orang yang berdo’a kepada para Nabi dan wali: ]قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً (56) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا[سورة الإسراء “Katakanlah, panggillah mereka yang kamu anggap tuhan selain Allah. Mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk menolak bahaya daripadamu dan tidak pula memberi manfaat kepada kamu. Orang-orang yang mereka seru itu sendiri justeru mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat dengan Allah dan juga mengahrapkan rahmat-Nya serta takut akan Azab-Nya. Sungguh azab Tuhanmu itu sesuatu yang patut ditakuti.” (Al-isra’ : 56-57). Imam ibnu Katsir menafsirkan bahawa ayat ini diturunkan mengenai sekelompok manusia yang menyembah jin dan berdo’a kepadanya. Jin tersebut kemudian masuk Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang yang berdo’a kepada Isa Al-Masih dan malaikat. Dari keterangan-keterangan di atas telah jelas bahwa ayat ini membantah dan mengingkari orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah, meskipun kepada Nabi atau wali.
 7.Ada orang yang menyangka bahwa minta tolong (istighatsah) kepada selain Allah itu boleh dengan alasan bahwa yang memberi pertolongan sebenarnya adalah Allah, seperti istighatsah kepada Rasul dan wali-wali. Ini dikatakan boleh, seperti ada orang yang berkata : saya disembuhkan oleh ubat dan dokter. Pendapat ini salah dan dibantah oleh firman Allah yang mengisahkan do’a Nabi Ibrahim A.S : ] الذين خلقني فهو يهدين. والذين هو يطعمني ويسقين. وإذا مرضت فهو يشفين [ “ Allah lah yang menciptakan aku maka Dialah yang memberikan petunjuk kepadaku. Dialah yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkanku.” (Asy-syuaraa’ : 78-80). Ayat ini menerangkan bahwa pemberi petunjuk, rezki dan kesembuhan adalah Allah saja bukan yang lain, sedangkan ubat hanyalah sebagai asbab saja dan tidak boleh menyembuhkan. 8. Banyak orang yang tidak dapat membezakan antara istighatsah kepada orang hidup dan istighatsah kepada orang mati. Firman Allah : ] وما يستوي الأحياء ولا الأموات [ “Tidaklah sama orang yang hidup dengan orang yang mati.” (Fathir : 22). ] فاستغاثه الذي من شيعته على الذين من عدوه [ “Nabi Musa diminta tolong oleh seorang dari golongannya untuk mengalahkan musuh orang itu.” (Al-Qashah : 15). Ayat ini menceritakan tentang seorang yang minta tolong kepada nabi Musa agar melindunginya dari musuhnya dan nabi Musa pun menolongnya: ] فوكزه موسى فقضى عليه [ “Dan Musa meninjunya sehingga matilah musuh itu.” (Al-Qashash : 15) Adapun orang mati tidak boleh kita meminta tolong kepadanya kerana ia tidak dapat mendengar do’a kita. Andaikata mendengar pun ia tidak akan dapat memenuhi permintaan kita kerana ia tidak dapat melakukan sesuatu pun. Firman Allah : ]إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِير[ٍ (14) سورة فاطر “Apabila kamu berdo’a kepada mereka, mereka tidak dapat mendengar do’a kamu dan seandainya mereka dapat mendengar, mereka tidak dapat memenuhi permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu.” (Fathir : 14). ] والذين يدعون من دون الله لا يخلقون شيئا وهم يخلقون. أموات غير أحياء وما يشعرون أيان يبعثون [ “dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah itu tidak dapat membuat sesuatu apapun sedang mereka sendiri dibuat oleh manusia. Mereka itu benda mati, tidak hidup dan mereka itu tidak dapat mengetahui bila akan dibangkitkan.” (An-Nahl : 20-21).
 8.Dalam hadits-hadits shahih terdapat keterangan bahawa menusia pada hari kiamat nanti mendatangi para Nabi untuk minta syafaat, sampai mereka mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam untuk meminta syafaat agar segera dibebaskan. Nabi Muhammad S.A.W. menjawab : ya, memang saya dapat memberi syafaat, kemudian beliau sujud di bawah Arsy dan memohon kepada Allah agar mereka segera dibebaskan dan dipercepatkan proses penghisabannya. Syafaat ini adalah permintaan Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam dan waktu itu beliau dalam keadaan hidup dimana beliau dapat berbicara dengan mereka lalu beliau memohonkan syafaat. Itulah yang diperbuat Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.
9. Argumen yang paling tepat untuk membezakan antara memohon kepada orang mati dan orang hidup adalah apa yang dikatakan Umar bin Khatthab pada waktu terjadi kekeringan di mana beliau meminta kepada Al-Abbas pakcik Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam untuk mendo’akan mereka, dan Umar tidak pernah minta tolong kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam setelah beliau wafat. 
10. Ada sejumlah ulama yang menyangka bahwa tawassul itu sama dengan istighatsah, padahal perbezaan antara keduanya besar sekali. Tawassul adalah berdo’a kepada Allah melalui perantaraan seperti, wahai Allah, dengan perantaraan cintaku kepada-Mu dan cintaku kepada Rasul-Mu bebaskanlah kami. Do’a dengan cara tawassul seperti ini boleh. Istighatsah adalah berdo’a kepada selain Allah seperti, wahai Rasululluh, bebaskanlah kami. Ini tidak boleh, bahkan termasuk syirik besar berdasarkan firman Allah : ] ولا تدع من دون الله ما لا ينفعك ولا يضرك فإن فعلت فإنك إذا من الظالمين [ “Dan janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat kepadamu, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang zalim (musyrik).” (Yunus : 106).
Wahai Saudara dan saudaraku, marialah kita merenungkan bahawa kenapa gejala membuang anak berlaku hampir setiap hari di negara kita. Semua ini kita nak salahkan siapa?
Ibu bapa? Cikgu? Ustaz atau ustazah? Tok imam?

Jawapannya kita tanya diri kita sendiri..

Kita mesti kenal Allah sebagai ROB sekalian mukhluk

DI MANA ALLAH?

Allah yang menciptakan kita, mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehinga kita dapat menghadap kepadaNya dengan hati, do’a dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana tuhannya akan tersesat, tidak tahu kemana ia menghadap kepada sembahannya, dan tidak dapat melaksanakan ibadah (penghambaan) kepadaNya dengan sebenar-benarnya. Sifat Mahatinggi yang dimiliki Allah atas makhluknya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lain sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits shahih, seperti : mendengar, melihat, berbicara, turun dan lain-lainnya. Aqidah para ulama salaf yang shaleh dan golongan yang selamat “Ahlussunnah wal Jamaah” telah mengimani apa yang diberitakan Allah dalam Al-qur’an dan apa yang diberitakan Rasulnya dalam hadits, tanpa ta’wil (menggeser makna yang asli ke makna yang lain). Ta’thil (meniadakan maknanya sama sekali) dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluknya). Hal ini berdasarkan firman Allah : ] ليس كمثله شيء وهو السميع البصير [ “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura : 11). Sifat-sifat Allah ini, antara lain Mahatinggi dan bahwa Dia berada di atas makhluk, adalah sesuai dengan keagungan Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut wajib, sebagaimana juga iman kepada dzat Allah, Imam Malik ketika ditanya tentang firman Allah : ] الرحمن على العرش استوى [ “Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy.” (Taha : 5). Beliau menjawab : Istiwa itu sudah dimaklumi artinya (Yaitu : bersemayam atau berada di atas). Tetapi bagaiamana hal itu tidak dapat diketahui. Kita hanya wajib mengimaninya dan mempertanyakannya adalah bid’ah.” Perhatikanah jawaban Imam Malik tadi yang menetapkan bahwa iman kepada “istiwa” itu wajib diketahui oleh setiap muslim, yang berarti : bersemayam atau berada di atas.tetapi bagaimana hal itu, hanya Allah saja yang mengetahi. Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits –antara lain sifat Mahatinggi Allah mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur’an dan hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan., keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapapun. Usaha orang-orang yang datang belakangan untuk mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Alah, karena terpengaruh oleh filsafat yang merusak aqidah Islam, menyebabkan mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari dzatNya. Mereka menyimpang dari metode ulama salaf yang lebih selamat, lebih ilmiah dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan : Segala kebaikan itu terdapat Dalam mengikuti jejak ulama salaf Dan segala keburukan itu terdapat Dalam bid’ah yang datang kemudian. KESIMPULAN : Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang telah diterangkan Al-Qur’an dan hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa Allah itu Maha tinggi di atas langit sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat MahatinggiNya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam kitabnya dan sabda Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam Fitrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut. ALLAH DI ATAS ARASY Al-Qur’an, hadits shaheh, naluri dan cara berfikir yang sehat telah mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas arasy. 1. Firman Allah : ] الرحمن على العرش استوى [ “Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy.” (Thaha : 5) Pengertian ini sebagaimana diriwayatikan bukhari dari beberapa tabi’in. 2. Firman Allah : ]أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ [ (16) سورة الملك “Apakah kamu merasa aman trehadap Yang di langit? Bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kamu…? (Al-Mulk : 16). 3. Firman Allah : ] يخافون ربهم من فوقهم [ “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka…” (An-Nahal : 50). 4. Firman Allah tentang Nabi Isa 'Alaihis salam : ] بل رفعه الله [ “Tetapi Allah mengangkatnya …” (An-Nisa’ : 158) Maksudnya Allah menaikkan Nabi Isa ke langit.” 5. Firman Allah : ] وهو الله في السموات [ “Dan Dialah Allah (Yang disembah) di langit …” (Al-An’am : 3) Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut : para ahli tafsir sependapat bahwa kita tidak akan berkata seperti ucapan kaum jahmiyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha suci Allah dari ucapan mereka.” Adapun firman Allah : ] وهو معكم أينما كنتم [ “Dan Allah selalu bersamamu di mana kamu berada …” (Al-Hadid : 4). Maksudnya bahwa dia bersama kita : mengetahui, mendengar dan melihat kita di manapun kita berada. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudah ayat ini menjelaskan hal tersebut, seperti keterangan dalam tafsir Ibnu Katsir. 6. Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam mi’raj ke langit ketujuh dan difirmankan kepadanya oleh Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (riwayat Bukhari dan Muslim). 7. sabda Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam : “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku dipercaya oleh Allah yang berada di langit.? (riwayat Turmudzi). 8. Sabda Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam : “Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka yang di langit (Allah) akan menyayangimu.” (Riwayat Turmudzi). 9. Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam pernah menanyai seorang budak wanita : “Di mana Allah?” jawabnya : “Di langit”,” Rasululloh bertanya lagi : “siapa saya?” dijawab lagi : “Kamu Rasul Allah.” Lalu Rasululloh bersabda : “Merdekakanlah dia karena dia seorang mu’minah.” (Riwayat Muslim). 10. Sabda Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam : “Arsy itu berada di atas air, dan Allah berada di atas Arsy, Allah mengetahui keadaan kamu.” (Hadits hasan riwayat Abu Daud). 11. Abu Bakar shiddiq berkata : “Barangsiapa menyembah Allah, maka Allah berada di langit, Ia Maha hidup dan tidak mati.” (Riwayat Imam Darimi dalam al radd alal jahmiyah). 12. Abdullah bin Mubarak pernah ditanya : “Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Maka beliau menjawab : “Tuhan kita berada di atas langit, di atas Arsy, berbeda dengan makhluknya. “Maksudnya : dzat Allah berada di atas Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluknya, dan keadaanya di atas Arsy tersebut tidak sama dengan mahkluk. 13. Para imam empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal) telah sepakat bahwa Allah berada di atas Arsy, tidak ada seorangpun dari makhluk yang serupa denganNya. 14. Orang yang sedang shalat selalu mengucapkan : “Subhana Rabbial A’laa (Maha suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Ketika berdo’a, ia juga mengangkat tangannya dan menadahkan ke langit. 15. Anak kecil ketika anda tanya di mana Allah, dia akan segera menjawab berdasarkan naluri mereka bahwa Allah berada di langit. 16. Cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah di langit. Seandainya Allah ada di semua tempat, niscaya Rasululloh pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para sahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat, berarti Allah juga berada di tempat-tempat najis dan kotor. Maha suci Allah dari anggapan yang demikian itu. 17. Pendapat yang mengatakah bahwa Allah berada di segala tempat, berarti bahwa Dzat Allah itu banyak, karena banyaknya tempat. Akan tetapi karena Dzat Allah itu satu, dan mustahil banyak, maka pendapat yang mengatakan bahwa Allah berada di segala tempat adalah batil. Maka tentulah Allah itu di langit, di atas Arsy-Nya, dan dia bersama kita : mengetahui, mendengar dan melihat kita di manapun kita berada.

Selasa, 19 Februari 2013

Agungnya Engkau Ya Rasulullah!

Sungguh indahnya namamu wahai Nabi! Namamu ya Rasulullah diabadikan Tuhan sepanjang zaman Menunjukkan mulianya engkau di sisi Tuhan di dunia dan di Akhirat. Allah S.W.T. telah promosi engkau, sehingga engkau di bibir mulut manusia. Nama Allah dan namamu digandingkan sama disebut nama Tuhan maka disebut namamu juga. Setiap yang hendak masuk Islam nama Tuhan dan namamu disebut di dalam dua kalimah syahadah. Namamu disebut di dalam doa selepas wudhuk. Namamu juga disebut di dalam doa selepas azan dan iqamah. Namamu disebut di dalam sebarang doa agar dikabulkan permintaan Sungguh mulia engkau, namamu disebut di mana-mana sahaja. Di dalam sembahyang namamu disebut ketika tahiyyat. Jika tidak disebut tidak sah solat Belum lagi pencinta-pencinta engkau yang mabuk dengan engkau Mereka lebih-lebih banyak lagi menyebut nama engkau Iaitu engkau disebut di dalam selawat Sebelum sembahyang, selepas sembahyang, di dalam sembahyang, ketika berkhalwat Setiap yang berzikir namamu mesti disebut orang berulang kali Seolah-olah engkau masih hidup di dunia ini Ya Nabi namamu sungguh harum semerbak mewangi Ya! Namamu dihidup orang sekalipun jasadmu sudah dikebumi Apa sahaja upacara Islam namamu mesti disebut Di dalam khutbah namamu disebut oleh khatib di atas mimbar Apatah lagi di masa maulidmu, selawat berkumandang tidak jemu-jemu Seolah-olah engkau bersama di majlis itu Seolah-olah engkau masih hidup bersama kami atau mereka Begitulah cintanya Tuhan kepadamu, hingga namamu disebut selalu bahkan setiap waktu Tuhan menselawatkanmu, para malaikat juga begitu Orang mukmin dianjurkan menselawatkanmu selalu semahu-mahunya Hingga tidak ada ruang dan masa yang kosong yang tidak disebut namamu Namamu disebut di langit dan di bumi Begitulah kehormatan yang engkau perolehi dari Tuhanmu Belum lagi menyebut peribadi, sikap dan perbuatanmu Engkau adalah contoh segala contoh, ikutan di dalam sebarang hal Contoh dan ikutan yang tidak ada tandingan sebarang zaman Samada orang sebelum kelahiranmu mahupun setelah kelahiranmu Engkau memanglah Sohibulazman Engkau adalah bapa mithali bagi seluruh keluarga dan manusia Engkau didik mereka mencintai Tuhan dan Akhirat Mereka jual dunia untuk Akhirat mereka Engkau adalah laksana ibu tempat bermanja tidak ada taranya Tempat mengadu, tempat meminta, tempat mencurahkan perasaan Guru yang luarbiasa, pemimpin sejati yang mengasihi dan dikasihi Engkau adalah kawan setia bahkan mengutamakan kawan setiap masa Di waktu musafir, ketika bermukim, engkau khidmati mereka Engkau jiran yang baik, engkau anggap jiran engkau adalah keluarga Kehormatan mereka engkau jaga, kesusahan mereka engkau bela Anak-anak yatim, fakir miskin, janda-janda engkau hiburkan, mereka terhibur Engkau sering sahaja bersama mereka, mereka bangga Kejahatan orang engkau balas dengan kebaikan Engkau pemaaf, menerima keuzuran, ziarah orang sakit, mengiringi jenazah Engkau pemurah, ibadahmu banyak, suka berkhidmat kepada orang Setiap kebaikan yang engkau cakapkan engkau berbuat Engkau sangat mencintai Tuhan dan Akhirat Para-para tetamu engkau sangat hormati dan menjaga keperluan mereka Janji engkau tepati, hutang orang engkau bayarkan Kesabaran engkau sangat terserlah, tawakal engkau menjadi budaya, keberanian engkau tidak ada tara Engkau sangat lemah lembut, tidak keras tapi tegas Engkau mesra dengan orang, peramah, marah tidak ketara Engkau tidak mengumpat, tidak menghina, tidak mengata Akhlak engkau tinggi, wibawa engkau luarbiasa Musuh-musuh engkau mengakui sekalipun mereka benci Pada diri engkau ada segala contoh-contoh bagi setiap golongan manusia Kalau seorang guru engkaulah contohnya, kalau seorang pemimpin engkaulah ikutannya Jika seorang bapa atau ibu engkaulah suri teladannya Jika suami engkaulah patut ditiru Sekiranya seorang kawan engkaulah contohnya Jika seorang ulama engkaulah contoh terbaik bagi ulama Kalau seorang mubaligh engkaulah tempat rujuknya Jika seorang pejuang engkaulah tempat ukurannya Engkau tidak payah ditonjol-tonjol memang engkau sudah tertonjol Engkau tidak payah berlakon-lakon membuat baik, engkau memang orang yang terbaik Engkau tidak perlu pura-pura baik memang sikap engkau sudah baik dan terdidik Engkau tidak payah meminta disanjung, kerana semua orang menyanjung engkau tanpa diminta Dunia hari ini memerlukan pemimpin, guru, bapa, ibu, mubaligh, pejuang, suami, kawan, peniaga bayanganmu ya Rasullullah Hari ini semua golongan bukan bayanganmu lagi Kerana itulah dunia hari ini huru-hara, haru-biru, krisis berlaku, pergaduhan, jenayah, perbalahan, peperangan Berlakulah kebimbangan dan ketakutan Allahummasalli ‘ala Saiyidina Muhammad wa ‘ala ali Saiyidina Muhammad posted by Rafiq at 5:50 PM PRINSIP KEPEMIMPINAN DAN PERJUANGAN ISLAM Oleh : Panel Penulis JAKIM Dalam sirah perjuangan Rasulullah s.a.w. terdapat pelbagai bentuk tindakan yang telah dilakukan oleh baginda untuk mencapai matlamat penegakan dan pengukuhan negara Islam. Berdasarkan tindakan-tindakan baginda yang berbagai-bagai itu maka kita dapat mengambil beberapa qawa’idul ‘ammah atau prinsip-prinsip umum sebagai panduan kepada kepemimpinan dan perjuangan Islam hari ini. Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip umum yang dapat kita pelajari dari perjuangan Rasulullah s.a.w. Kejelasan visi dan cara penyampaian Dalam al-Quran, Allah memerintahkan Rasulullah s.a.w. melaksanakan seruan risalah-Nya secara terang-terangan seperti yang dijelaskan oleh firman Allah yang maksudnya:“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”(Al-Hijr: 94) Dalam ayat yang lain pula, Allah berfirman yang bermaksud:“Dan katakanlah: Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang terang.”(Al-Hijr: 89) Berpandukan perintah dari Allah yang setegas itu maka Rasulullah s.a.w. naik ke bukit Safa untuk memanggil kaum Quraisy dengan suara yang lantang. Baginda berteriak: “Ya Sahabah! Ya Sahabah!”. Panggilan yang dipakai oleh Rasulullah s.a.w. ini adalah satu cara yang digunakan oleh bangsa Arab jika ada sesuatu perkara yang penting. Setelah mereka berkumpul baginda pun berkata:“Hai Banu Abdul Muttalib, hai Banu Fihr, hai Banu Ka’ab, bagaimana pendapat kamu sekalian jika aku khabarkan bahawa di sebalik gunung ini ada sepasukan musuh yang berkuda datang untuk membinasakan kamu? Apakah kamu percaya dengan apa yang aku katakan?” Jawab mereka: “Ya kami akan percaya.” Kata Rasulullah s.a.w.: “Ketahuilah kamu sekalian bahawa aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kamu tentang datangnya azab dari Allah.” Sejak awal lagi Rasulullah s.a.w. telah menyampaikan risalah Islam secara terang dan jelas serta tidak berselindung dalam menyatakan tuntutan Islam ke atas umat manusia. Bagi kabilah Arab yang datang ke kota Makkah untuk menunaikan haji pun baginda menyampaikan risalah secara jelas tanpa berselindung-selindung. Baginda berkata: “Hai Bani Fulan! Sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah yang diutus kepada kamu sekalian. Allah memerintahkan kamu semua untuk menyembah-Nya dengan tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu. Hendaklah kamu tinggalkan segala macam bentuk penyembahan selain Allah. Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan membelaku agar aku dapat menyampaikan risalah ini kepada kamu semua.” Sikap Rasulullah s.a.w. menyampaikan risalah dan visi Islam secara lantang dan jelas ini telah menaikkan kemarahan para pemimpin Quraisy. Bagi memujuk Rasulullah s.a.w. meninggikan dakwahnya, mereka telah mengutuskan Utbah ibn Rabi’ah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Setelah mendengar ucapan Utbah lalu bagindapun membaca ayat-ayat pertama Surah Fussilat sehingga ayat yang maksudnya: “Bila mereka berpaling, maka katakanlah: Aku telah memperingatkan kamu dengan petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Thamud.”(Fussilat: 13) Mendengarkan sahaja ayat ini lantas Utbah menutup telinganya dengan kedua-dua belah tangan seolah-olah terasa hendak disambar petir. Setelah itu ia kembali ke tengah-tengah kaumnya dan menyarankan supaya Rasulullah s.a.w. dibiarkan sahaja dan jangan diganggu. Tawaran-tawaran yang dikemukan oleh Utbah telah ditolak oleh Rasulullah s.a.w. kerana semuanya adalah jalan-jalan yang akan memesongkan baginda s.a.w. daripada menyampaikan risalah Islam dengan sejelas-jelasnya. Ini kerana pengaruh harta dan kedudukan boleh menganggu kelancaran dan keberkesanan risalah Islam. Daripada dasar ini dapatlah diyakini bahawa metode pengukuhan sesebuah pemerintahan Islam mestilah berpegang kepada kaedah kejelasan visi dan risalah Islam dari segi matlamat, intipatinya dan pendekatan penyampaiannya. 1. Pelaksanaan menurut kemampuan Pemerintahan dan pentadbiran negara Islam hendaklah bergerak menurut kadar kemampuan struktur pengurusan, kepemimpinan, anggota-anggota, para pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Dasar ini diambil dari sabda Rasulullah s.a.w. :“Apabila aku perintahkan dengan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuannya.”(riwayat Ibn as-Subki) Namun demikian apa yang dimaksudkan dengan kemampuan di sini hendaklah ianya memenuhi tuntutan-tuntutan al-Quran. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan persiapan itu) kamu akan menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”(Al-Anfal: 60) Perkataan ‘kekuatan’ dalam ayat ini mengandungi pengertian segala daya dan tenaga serta segala perkakas dan kelengkapan yang dapat membuat hati musuh menjadi kecut dan gentar. Demikianlah juga mesej yang disampaikan dalam firman Allah yang bermaksud: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”(At-Taghabun: 16) Ayat ini juga menjadi dalil bahawa setiap usaha yang dilaksanakan hendaklah menurut kapasiti kekuasaan dan kemampuan yang sedia ada. Oleh hal yang demikian, pemerintahan dan pentadbir bagi sesebuah negara Islam mestilah bergerak menurut kemampuan struktur pengurusannya daripada segi persediaan kekuatan dalaman, perencanaan strategi dan keupayaan untuk melaksanakan strategi tersebut. Bergerak menurut kemampuan yang ada di kalangan kepemimpinan pula hendaklah dilihat daripada segi penguasaan kepemimpinan terhadap permasalahan dalaman negara seperti penguasaan terhadap kerangka pentadbiran serta jentera-jenteranya dan penguasaan terhadap ahli-ahli serta pengagihan tenaga mereka. Daripada segi luaran pula adalah berkenaan penguasaan kepemimpinan terhadap musuh-musuh serta persediaan mereka dan segala faktor-faktor luar yang boleh menjejaskan matlamat. Kemampuan anggota dan badan pelaksana pula hendaklah diambil kira semasa pemerintahan negara Islam bergerak melaksanakan dakwah dan jihad di dalam masyarakat. Ini hendaklah dilihat pertamanya dari sudut keupayaan ahli-ahli melaksanakan tugas-tugas yang dipertanggungjawabkan dan keduanya dari segi kualiti dan kuantiti ahli. Perjuangan pemerintahan Islam juga mestilah bergerak dengan mengukur kemampuan pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Ini berlandaskan kepada hakikat masyarakat umum lebih mudah terpengaruh dan tertipu dengan pujukan golongan jahiliyyah. Firman Allah yang bermaksud: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya kerana sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”(Az-Zukhruf: 54) Di dalam tafsir Ibn Kathir disebutkan bahawa yang dimaksudkan dengan ‘mempengaruhi’ ialah mempengaruhi akal mereka sehingga mudah diajak kepada kesesatan dan menjadi pengikutnya. Berdasarkan kepada tabi’at masyarakat umum yang begini maka perjuangan mengukuhkan pemerintahan Islam perlulah bergerak dengan berhati-hati agar tidak ada tindakannya yang boleh dijadikan oleh jahiliyyah sebagai bahan untuk mengelirukan masyarakat umum. Sekiranya jahiliyyah masih lagi cuba untuk mengelirukan masyarakat dengan isu-isu tertentu, maka pucuk pimpinan negara Islam hendaklah bersedia sepenuhnya untuk menjelaskan kekeliruan ini sebaik-baiknya kepada mereka. Seruan risalah Islam dan penekanan-penekanan tertentu yang hendak dibawa oleh kepimpinan pemerintahan Islam mestilah bersesuaian dengan kemampuan masyarakat untuk memahami dan menerimanya. Sekiranya rata-rata umat Islam masih lagi belum memahami banyak perkara berkaitan dengan Islam dan tuntutan-tuntutannya, maka wajarlah pucuk pimpinan dan badan pelaksana negara Islam menangguhkan sesuatu tindakan yang dirasakan boleh memesongkan matlamat asal perjuangan mendaulatkan Islam. Sebaliknya penumpuan hendaklah dilakukan terhadap pentarbiyahan dan pembentukan masyarakat secara menyeluruh. Pendekatan pucuk pimpinan yang bergerak menurut kemampuannya dan kemampuan masyarakat yang ingin diubahnya, adalah pemimpin yang bijak dalam menggembleng tenaga, pandai memanfaatkan keadaan dan tahu untuk mengelak sebarang kemudaratan dan kerosakan. Berhati-hati dalam tindakan Kaedah ini diambil dari tuntutan Al-Quran iaitu dalam firman Allah yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, ambillah langkah-langkah kewaspadaanmu dan majulah berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama.”(An-Nisa’: 71) Dan juga berdasarkan firman Allah dalam ayat yang lain bermaksud: “Orang-orang kafir itu menghendaki kamu supaya lalai terhadap senjata dan persiapanmu, maka mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”(An-Nisa’: 102) Al-Qurtubi dalam mentafsirkan ayat ini berkata: “Para ulama merasakan adalah amat penting bersifat sentiasa berwaspada dan selalu mengajak manusia supaya waspada kerana ini memenuhi maksud perintah al-Quran.” Dalam sirah nabawiyah terdapat banyak peristiwa yang membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. mengambil berat berkenaan sifat berhati-hati atau waspada ini. Sejak permulaan dakwah lagi baginda mengumpulkan beberapa sahabatnya dan melaksanakan pentarbiyahan secara rahsia. Para sahabat pula apabila hendak solat, mereka pergi ke lembah-lembah dan menunaikan solat secara sembunyi-sembunyi. Semasa peristiwa hijrah pula Rasulullah s.a.w. telah merancangkan pemergiannya bersama saidina Abu Bakar dengan penuh waspada agar tidak diketahui oleh musuh. Di Madinah pula Rasulullah s.a.w. sentiasa mengutuskan pasukan-pasukan kawalan untuk memerhati pergerakan musuh di kawasan-kawasan sempadan negara. Dari seluruh tindakan-tindakan waspada yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dapat dirumuskan bahawa matlamatnya adalah untuk menjaga perjalanan dakwah, penyebaran risalah yang dipimpinnya dan pengukuhan sistem pemerintahan Islam. Tindakan berhati-hati dalam apa juga bentuk, bukan bertujuan untuk menyembunyikan dakwah dan risalah Islam. Tidak pula tindakan ini bertujuan untuk membawa umat Islam ke belakang. Kewaspadaan bertujuan untuk mengembangkan risalah dan mendaulatkan pemerintahan Islam dengan cara menutup pintu-pintu mudarat yang mungkin akan menghancurkan atau menyekat perkembangannya sama sekali. Melaksanakan tindakan berhati-hati dalam bergerak bukanlah sifat pengecut. Kepimpinan Islam tidak berjuang untuk mendapat kemasyhuran dari segi mempunyai ahli-ahli yang berani mati atau mendapat kepopularan. Sekiranya sesuatu tindakan itu akan membawa mudarat, maka berwaspada dan tidak mengambil sebarang tindakan adalah merupakan satu tindakan yang paling wajar dan dianggap sebagai amal saleh di sisi Islam. Hikmah dalam tindakan Antara prinsip asas kepimpinan dan perjuangan Islam yang dapat diambil dari sirah nabawiyah juga ialah hikmah dalam tindakan. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik lagi indah, dan berbahas dengan mereka secara yang baik lagi indah.”(An-Nahl: 125) Hikmah mencakupi makna yang amat luas. Para ulama mengertikannya sebagai rahsia-rahsia ad-Din serta ketentuan syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah s.a.w. dan mereka juga mengisyaratkan hikmah sebagai sunnah. Dalam manhaj perjuangan Islam, penggunaan asalib dan wasa’il yang luas adalah merupakan tindakan hikmah sama ada bagi mencapai ahdaf (sasaran-sasaran tertentu) ataupun ghayah (matlamat akhir). Hikmah di sini dilihat dari segi kesesuaian sesuatu tindakan yang diambil berteraskan tuntutan menjaga maslahat dan mengelak kemudaratan. Sekiranya sesuatu tindakan yang diambil melalui nasihat, pujukan dan memberi kemaafan boleh membawa maslahat yang bersesuaian dengan syari’at, ataupun ia dapat menghindarkan mudarat, maka tindakan itu dianggap hikmah. Dalam amsa yang sama sekiranya mengangkat senjata, mengisytiharkan jihad atau menghukum bunuh terhadap musuh-musuh dianggap berupaya membawa maslahat yang lebih luas kepada perjuangan Islam, maka melaksanakan tindakan-tindakan tersebut pula dianggap hikmah di sisi syariat Islam. Mengambil kira waqi’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seandainya bukan kerana kaum kamu yang baru saja keluar dari masa jahiliyyah nescaya aku ubah Ka’bah itu dan aku lekatkan ke bumi (iaitu pintu Ka’bah), dan aku jadikan baginya dua pintu, iaitu pintu yang manusia masuk daripadanya dan pintu yang manusia keluar daripadanya.”(riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulullah s.a.w. tidak melaksanakan perkara ini kerana menurut baginda ia adalah lebih utama memandang suasana di mana orang-orang Quraisy baru saja memeluk Islam. Sekiranya baginda laksanakan juga nescaya mereka lari dari Islam. Larinya Quraisy dari Islam ketika itu adalah keadaan mafsadah atau mudarat kepada maslahat yang diperjuangkan. Maka ini bermakna Rasulullah s.a.w. telah meraikan pandangan umum dalam perkara yang tidak mengakibatkan tergendalanya sesuatu amal yang telah ditetapkan oleh Allah. Penetapan sesuatu tindakan dengan memerhatikan suasana dan mengambil kira waqi’ masyarakat setempat adalah dilandaskan kepada satu kaedah fiqh iaitu: “Adat (kebiasaan) itu boleh ditetapkan sebagai hukum.”Menurut kaedah ini, meraikan atau mengambil berat terhadap pandangan umum setempat dan pandangan dunia merupakan satu daripada dasar-dasar Islam. Pandangan-pandangan ini diraikan dalam hal-hal yang tidak menyekat syariat. Sekiranya hal-hal itu bertentangan dengan syariat Islam atau akan menyekat syariat maka pandangan-pandangan itu tidak boleh diraikan. Kepimpinan Islam mestilah benar-benar memahami waqi’. Pemahaman terhadap waqi’ yang tepat dapat membantu perjuangan untuk menegakkan Islam. Ini kerana pemerintahan Islam dapat memahami apakah faktor-faktor yang boleh melambatkan penyebaran dan penerimaan risalah di dalam masyarakat. Ia juga dapat mengenali di manakah letaknya elemen-elemen kuasa dalam masyarakat yang mengarahkan serta mempengaruhi segala tindakan masyarakat. Pengetahuan pucuk pimpinan Islam terhadap kedua-dua faktor ini akan membantunya dalam merencanakan strategi yang lancar dan kemas di dalam masyarakat sehingga akhirnya mampu mendaulatkan Islam di atas muka bumi ini. Demikianlah prinsip-prinsip umum dan asas kepada metode kepimpinan dan perjuangan Islam bersandarkan tuntutan syarak yang dapat dinukil dari sirah nabawiyah. Prinsip-prinsip ini hendaklah dilihat secara keseluruhan di dalam menimbang sesuatu tindakan yang akan diambil. Mengambil prinsip ini secara berasingan ataupun menekankan kepada sesuatu prinsip semata-mata akan mengakibatkan tindakan yang kurang matang serta merugikan kedaulatan pemerintahan dan negara Islam. Pengabaian terhadap dasar-dasar ini pula akan menjauhkan kepemimpinan dan perjuangan umat dari matlamat sebenar. PRINSIP KEPEMIMPINAN DAN PERJUANGAN ISLAM Oleh : Panel Penulis JAKIM Dalam sirah perjuangan Rasulullah s.a.w. terdapat pelbagai bentuk tindakan yang telah dilakukan oleh baginda untuk mencapai matlamat penegakan dan pengukuhan negara Islam. Berdasarkan tindakan-tindakan baginda yang berbagai-bagai itu maka kita dapat mengambil beberapa qawa’idul ‘ammah atau prinsip-prinsip umum sebagai panduan kepada kepemimpinan dan perjuangan Islam hari ini. Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip umum yang dapat kita pelajari dari perjuangan Rasulullah s.a.w. Kejelasan visi dan cara penyampaian Dalam al-Quran, Allah memerintahkan Rasulullah s.a.w. melaksanakan seruan risalah-Nya secara terang-terangan seperti yang dijelaskan oleh firman Allah yang maksudnya:“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”(Al-Hijr: 94) Dalam ayat yang lain pula, Allah berfirman yang bermaksud:“Dan katakanlah: Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang terang.”(Al-Hijr: 89) Berpandukan perintah dari Allah yang setegas itu maka Rasulullah s.a.w. naik ke bukit Safa untuk memanggil kaum Quraisy dengan suara yang lantang. Baginda berteriak: “Ya Sahabah! Ya Sahabah!”. Panggilan yang dipakai oleh Rasulullah s.a.w. ini adalah satu cara yang digunakan oleh bangsa Arab jika ada sesuatu perkara yang penting. Setelah mereka berkumpul baginda pun berkata:“Hai Banu Abdul Muttalib, hai Banu Fihr, hai Banu Ka’ab, bagaimana pendapat kamu sekalian jika aku khabarkan bahawa di sebalik gunung ini ada sepasukan musuh yang berkuda datang untuk membinasakan kamu? Apakah kamu percaya dengan apa yang aku katakan?” Jawab mereka: “Ya kami akan percaya.” Kata Rasulullah s.a.w.: “Ketahuilah kamu sekalian bahawa aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kamu tentang datangnya azab dari Allah.” Sejak awal lagi Rasulullah s.a.w. telah menyampaikan risalah Islam secara terang dan jelas serta tidak berselindung dalam menyatakan tuntutan Islam ke atas umat manusia. Bagi kabilah Arab yang datang ke kota Makkah untuk menunaikan haji pun baginda menyampaikan risalah secara jelas tanpa berselindung-selindung. Baginda berkata: “Hai Bani Fulan! Sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah yang diutus kepada kamu sekalian. Allah memerintahkan kamu semua untuk menyembah-Nya dengan tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu. Hendaklah kamu tinggalkan segala macam bentuk penyembahan selain Allah. Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan membelaku agar aku dapat menyampaikan risalah ini kepada kamu semua.” Sikap Rasulullah s.a.w. menyampaikan risalah dan visi Islam secara lantang dan jelas ini telah menaikkan kemarahan para pemimpin Quraisy. Bagi memujuk Rasulullah s.a.w. meninggikan dakwahnya, mereka telah mengutuskan Utbah ibn Rabi’ah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Setelah mendengar ucapan Utbah lalu bagindapun membaca ayat-ayat pertama Surah Fussilat sehingga ayat yang maksudnya: “Bila mereka berpaling, maka katakanlah: Aku telah memperingatkan kamu dengan petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Thamud.”(Fussilat: 13) Mendengarkan sahaja ayat ini lantas Utbah menutup telinganya dengan kedua-dua belah tangan seolah-olah terasa hendak disambar petir. Setelah itu ia kembali ke tengah-tengah kaumnya dan menyarankan supaya Rasulullah s.a.w. dibiarkan sahaja dan jangan diganggu. Tawaran-tawaran yang dikemukan oleh Utbah telah ditolak oleh Rasulullah s.a.w. kerana semuanya adalah jalan-jalan yang akan memesongkan baginda s.a.w. daripada menyampaikan risalah Islam dengan sejelas-jelasnya. Ini kerana pengaruh harta dan kedudukan boleh menganggu kelancaran dan keberkesanan risalah Islam. Daripada dasar ini dapatlah diyakini bahawa metode pengukuhan sesebuah pemerintahan Islam mestilah berpegang kepada kaedah kejelasan visi dan risalah Islam dari segi matlamat, intipatinya dan pendekatan penyampaiannya. 1. Pelaksanaan menurut kemampuan Pemerintahan dan pentadbiran negara Islam hendaklah bergerak menurut kadar kemampuan struktur pengurusan, kepemimpinan, anggota-anggota, para pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Dasar ini diambil dari sabda Rasulullah s.a.w. :“Apabila aku perintahkan dengan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuannya.”(riwayat Ibn as-Subki) Namun demikian apa yang dimaksudkan dengan kemampuan di sini hendaklah ianya memenuhi tuntutan-tuntutan al-Quran. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan persiapan itu) kamu akan menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”(Al-Anfal: 60) Perkataan ‘kekuatan’ dalam ayat ini mengandungi pengertian segala daya dan tenaga serta segala perkakas dan kelengkapan yang dapat membuat hati musuh menjadi kecut dan gentar. Demikianlah juga mesej yang disampaikan dalam firman Allah yang bermaksud: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”(At-Taghabun: 16) Ayat ini juga menjadi dalil bahawa setiap usaha yang dilaksanakan hendaklah menurut kapasiti kekuasaan dan kemampuan yang sedia ada. Oleh hal yang demikian, pemerintahan dan pentadbir bagi sesebuah negara Islam mestilah bergerak menurut kemampuan struktur pengurusannya daripada segi persediaan kekuatan dalaman, perencanaan strategi dan keupayaan untuk melaksanakan strategi tersebut. Bergerak menurut kemampuan yang ada di kalangan kepemimpinan pula hendaklah dilihat daripada segi penguasaan kepemimpinan terhadap permasalahan dalaman negara seperti penguasaan terhadap kerangka pentadbiran serta jentera-jenteranya dan penguasaan terhadap ahli-ahli serta pengagihan tenaga mereka. Daripada segi luaran pula adalah berkenaan penguasaan kepemimpinan terhadap musuh-musuh serta persediaan mereka dan segala faktor-faktor luar yang boleh menjejaskan matlamat. Kemampuan anggota dan badan pelaksana pula hendaklah diambil kira semasa pemerintahan negara Islam bergerak melaksanakan dakwah dan jihad di dalam masyarakat. Ini hendaklah dilihat pertamanya dari sudut keupayaan ahli-ahli melaksanakan tugas-tugas yang dipertanggungjawabkan dan keduanya dari segi kualiti dan kuantiti ahli. Perjuangan pemerintahan Islam juga mestilah bergerak dengan mengukur kemampuan pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Ini berlandaskan kepada hakikat masyarakat umum lebih mudah terpengaruh dan tertipu dengan pujukan golongan jahiliyyah. Firman Allah yang bermaksud: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya kerana sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”(Az-Zukhruf: 54) Di dalam tafsir Ibn Kathir disebutkan bahawa yang dimaksudkan dengan ‘mempengaruhi’ ialah mempengaruhi akal mereka sehingga mudah diajak kepada kesesatan dan menjadi pengikutnya. Berdasarkan kepada tabi’at masyarakat umum yang begini maka perjuangan mengukuhkan pemerintahan Islam perlulah bergerak dengan berhati-hati agar tidak ada tindakannya yang boleh dijadikan oleh jahiliyyah sebagai bahan untuk mengelirukan masyarakat umum. Sekiranya jahiliyyah masih lagi cuba untuk mengelirukan masyarakat dengan isu-isu tertentu, maka pucuk pimpinan negara Islam hendaklah bersedia sepenuhnya untuk menjelaskan kekeliruan ini sebaik-baiknya kepada mereka. Seruan risalah Islam dan penekanan-penekanan tertentu yang hendak dibawa oleh kepimpinan pemerintahan Islam mestilah bersesuaian dengan kemampuan masyarakat untuk memahami dan menerimanya. Sekiranya rata-rata umat Islam masih lagi belum memahami banyak perkara berkaitan dengan Islam dan tuntutan-tuntutannya, maka wajarlah pucuk pimpinan dan badan pelaksana negara Islam menangguhkan sesuatu tindakan yang dirasakan boleh memesongkan matlamat asal perjuangan mendaulatkan Islam. Sebaliknya penumpuan hendaklah dilakukan terhadap pentarbiyahan dan pembentukan masyarakat secara menyeluruh. Pendekatan pucuk pimpinan yang bergerak menurut kemampuannya dan kemampuan masyarakat yang ingin diubahnya, adalah pemimpin yang bijak dalam menggembleng tenaga, pandai memanfaatkan keadaan dan tahu untuk mengelak sebarang kemudaratan dan kerosakan. Berhati-hati dalam tindakan Kaedah ini diambil dari tuntutan Al-Quran iaitu dalam firman Allah yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, ambillah langkah-langkah kewaspadaanmu dan majulah berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama.”(An-Nisa’: 71) Dan juga berdasarkan firman Allah dalam ayat yang lain bermaksud: “Orang-orang kafir itu menghendaki kamu supaya lalai terhadap senjata dan persiapanmu, maka mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”(An-Nisa’: 102) Al-Qurtubi dalam mentafsirkan ayat ini berkata: “Para ulama merasakan adalah amat penting bersifat sentiasa berwaspada dan selalu mengajak manusia supaya waspada kerana ini memenuhi maksud perintah al-Quran.” Dalam sirah nabawiyah terdapat banyak peristiwa yang membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. mengambil berat berkenaan sifat berhati-hati atau waspada ini. Sejak permulaan dakwah lagi baginda mengumpulkan beberapa sahabatnya dan melaksanakan pentarbiyahan secara rahsia. Para sahabat pula apabila hendak solat, mereka pergi ke lembah-lembah dan menunaikan solat secara sembunyi-sembunyi. Semasa peristiwa hijrah pula Rasulullah s.a.w. telah merancangkan pemergiannya bersama saidina Abu Bakar dengan penuh waspada agar tidak diketahui oleh musuh. Di Madinah pula Rasulullah s.a.w. sentiasa mengutuskan pasukan-pasukan kawalan untuk memerhati pergerakan musuh di kawasan-kawasan sempadan negara. Dari seluruh tindakan-tindakan waspada yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dapat dirumuskan bahawa matlamatnya adalah untuk menjaga perjalanan dakwah, penyebaran risalah yang dipimpinnya dan pengukuhan sistem pemerintahan Islam. Tindakan berhati-hati dalam apa juga bentuk, bukan bertujuan untuk menyembunyikan dakwah dan risalah Islam. Tidak pula tindakan ini bertujuan untuk membawa umat Islam ke belakang. Kewaspadaan bertujuan untuk mengembangkan risalah dan mendaulatkan pemerintahan Islam dengan cara menutup pintu-pintu mudarat yang mungkin akan menghancurkan atau menyekat perkembangannya sama sekali. Melaksanakan tindakan berhati-hati dalam bergerak bukanlah sifat pengecut. Kepimpinan Islam tidak berjuang untuk mendapat kemasyhuran dari segi mempunyai ahli-ahli yang berani mati atau mendapat kepopularan. Sekiranya sesuatu tindakan itu akan membawa mudarat, maka berwaspada dan tidak mengambil sebarang tindakan adalah merupakan satu tindakan yang paling wajar dan dianggap sebagai amal saleh di sisi Islam. Hikmah dalam tindakan Antara prinsip asas kepimpinan dan perjuangan Islam yang dapat diambil dari sirah nabawiyah juga ialah hikmah dalam tindakan. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik lagi indah, dan berbahas dengan mereka secara yang baik lagi indah.”(An-Nahl: 125) Hikmah mencakupi makna yang amat luas. Para ulama mengertikannya sebagai rahsia-rahsia ad-Din serta ketentuan syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah s.a.w. dan mereka juga mengisyaratkan hikmah sebagai sunnah. Dalam manhaj perjuangan Islam, penggunaan asalib dan wasa’il yang luas adalah merupakan tindakan hikmah sama ada bagi mencapai ahdaf (sasaran-sasaran tertentu) ataupun ghayah (matlamat akhir). Hikmah di sini dilihat dari segi kesesuaian sesuatu tindakan yang diambil berteraskan tuntutan menjaga maslahat dan mengelak kemudaratan. Sekiranya sesuatu tindakan yang diambil melalui nasihat, pujukan dan memberi kemaafan boleh membawa maslahat yang bersesuaian dengan syari’at, ataupun ia dapat menghindarkan mudarat, maka tindakan itu dianggap hikmah. Dalam amsa yang sama sekiranya mengangkat senjata, mengisytiharkan jihad atau menghukum bunuh terhadap musuh-musuh dianggap berupaya membawa maslahat yang lebih luas kepada perjuangan Islam, maka melaksanakan tindakan-tindakan tersebut pula dianggap hikmah di sisi syariat Islam. Mengambil kira waqi’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seandainya bukan kerana kaum kamu yang baru saja keluar dari masa jahiliyyah nescaya aku ubah Ka’bah itu dan aku lekatkan ke bumi (iaitu pintu Ka’bah), dan aku jadikan baginya dua pintu, iaitu pintu yang manusia masuk daripadanya dan pintu yang manusia keluar daripadanya.”(riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulullah s.a.w. tidak melaksanakan perkara ini kerana menurut baginda ia adalah lebih utama memandang suasana di mana orang-orang Quraisy baru saja memeluk Islam. Sekiranya baginda laksanakan juga nescaya mereka lari dari Islam. Larinya Quraisy dari Islam ketika itu adalah keadaan mafsadah atau mudarat kepada maslahat yang diperjuangkan. Maka ini bermakna Rasulullah s.a.w. telah meraikan pandangan umum dalam perkara yang tidak mengakibatkan tergendalanya sesuatu amal yang telah ditetapkan oleh Allah. Penetapan sesuatu tindakan dengan memerhatikan suasana dan mengambil kira waqi’ masyarakat setempat adalah dilandaskan kepada satu kaedah fiqh iaitu: “Adat (kebiasaan) itu boleh ditetapkan sebagai hukum.”Menurut kaedah ini, meraikan atau mengambil berat terhadap pandangan umum setempat dan pandangan dunia merupakan satu daripada dasar-dasar Islam. Pandangan-pandangan ini diraikan dalam hal-hal yang tidak menyekat syariat. Sekiranya hal-hal itu bertentangan dengan syariat Islam atau akan menyekat syariat maka pandangan-pandangan itu tidak boleh diraikan. Kepimpinan Islam mestilah benar-benar memahami waqi’. Pemahaman terhadap waqi’ yang tepat dapat membantu perjuangan untuk menegakkan Islam. Ini kerana pemerintahan Islam dapat memahami apakah faktor-faktor yang boleh melambatkan penyebaran dan penerimaan risalah di dalam masyarakat. Ia juga dapat mengenali di manakah letaknya elemen-elemen kuasa dalam masyarakat yang mengarahkan serta mempengaruhi segala tindakan masyarakat. Pengetahuan pucuk pimpinan Islam terhadap kedua-dua faktor ini akan membantunya dalam merencanakan strategi yang lancar dan kemas di dalam masyarakat sehingga akhirnya mampu mendaulatkan Islam di atas muka bumi ini. Demikianlah prinsip-prinsip umum dan asas kepada metode kepimpinan dan perjuangan Islam bersandarkan tuntutan syarak yang dapat dinukil dari sirah nabawiyah. Prinsip-prinsip ini hendaklah dilihat secara keseluruhan di dalam menimbang sesuatu tindakan yang akan diambil. Mengambil prinsip ini secara berasingan ataupun menekankan kepada sesuatu prinsip semata-mata akan mengakibatkan tindakan yang kurang matang serta merugikan kedaulatan pemerintahan dan negara Islam. Pengabaian terhadap dasar-dasar ini pula akan menjauhkan kepemimpinan dan perjuangan umat dari matlamat sebenar. WANITA Segala puji hanya bagimu Tuhan Lantaran telah menjadikan daku seorang wanita Dicipta dari tulang rusuk kiri Adam Dengan seindah dan sebaik ciptaan Daku Situlang bengkok Yang Kau gubah dengan kekuatan perasaan Mengatasi panjangnya akal fikiran Sebagai fitrah dan anugerah Hasil doa seorang lelaki Namun Ya Allah Biarkan kejadianku memberi guna Bengkok yang ada menfaatnya Kiranya daku menjadi seorang isteri Kurniakanlah padaku kekuatan Menjadi tulang belakang seorang suami.. seorang mujahid Pengembang perjuangan disayap kiri Diadun dengan kelembutan Menjadi teman sejati.. sahabat setia penyejuk mata Pembina semangat dan penguat jiwa Seanggun peribadi Siti Khadijah Ketenangan Baginda Rasulullah utusan Allah Bebas jiwa dari belenggu keperempuanan Yang memiliki sembilan nafsu Merdeka dari kepentingan peribadi Setulus Siti Fatimah yang sering ditinggalkan suami Saidina Ali Dihantar pemergiannya tanpa ditanya Bilakan pulang? Disambut kepulangannya dengan penuh khidmat dan kemanisan Bersulamkan kemesraan Rumahtangga adalah syurga Wadah suburnya cinta ketuhanan Ubudiyyah Akal yang tunggal tidak dibiarkan Hanya berlegar dicelehan periuk belanga Disebalik lipatan lampin anak Menjangkau kebangkitan Islam dialam sejagat Menjadi pentadbir disebalik tabir!! Namun Ya Tuhan Siapalah daku untuk memiliki Watak wanita solehah pendamping Nabi Dek berkaratnya mazmumah yang bersarang dihati Maka kurniakanlah daku Sekeping hati yang sentiasa insaf Hak seorang suami Tidak kan mungkin kupenuhi Biar telahku jilat nanahnya yang berlelehan Biar telahku tadahkan wajahku Buat mengesat debu ditelapak kakinya Dan sememangnya daku mengimpikan Watak seorang ibu Yang bakal melahirkan Putera putera secekal Mus'ab bin Umar Menggadai dunia demi kasih Tuhannya Segigih Zubair Ibnu Awwaam Yang diangkat Rasul sebagai hawarijnya Hasil didikan seorang wanita bergelar ibu Jua... Memiliki puteri setabah seteguh Masyitah Rela direbus demi mempertahankan iman Atau sesuci Maryan seluruh hidupnya Mengabdikan diri kepada Tuhan Meskipun daku bukan ibunya Yang memiliki peribadi semurni Siti Fatimah Ibu Syeikh Abdul Kadir Jailani Yang tiap titis darah mampu berzikir kehadrat Ilahi Namun... Mudah mudahan zuriatku Bakal menampilkan Mujahid mujahid yang rindu memburu syahid Srikandi srikandi yang mampu memakmurkan mukabumi Allah Dengan ketaqwaan.. kesolehah ramainya ummat Rasulullah Yang saling redha berkorban dan dikorbankan Buat menyemarakkan Islam diakhir zaman Sebagaimana kesah seorang ibu Yang telah kematian putera puteranya dimedan jihad; "Mereka telah berbahagia sebagaimana aku bahagia Aduhai.. kiranya aku punya seorang anak lagi Kurelakan dia turut gugur dijalan Ilahi". Dan seandainya daku ditaqdirkan kehilangan mereka Setenang Ummu Faisal Yang tidak menjadikan kematian suami dan anak anaknya Halangan kecintaan padaMu Ya Ilahi Redhalah daku yang dhaif ini sebagai hambaMu Inilah pengaduan harap dan munajat Kiranya kekasihMu sendiri pernah menyatakan "Kulihat kebanyakkan dari isi neraka itu adalah wanita"
Sungguh agung namamu wahai Nabi! Namamu ya Rasulullah diabadikan Tuhan sepanjang zaman Menunjukkan mulianya engkau di sisi Tuhan di dunia dan di Akhirat Tuhan promosi engkau, hingga engkau di bibir mulut manusia Nama Tuhan dan namamu digandingkan sama Disebut nama Tuhan maka disebut namamu juga Setiap yang hendak masuk Islam nama Tuhan dan namamu disebut di dalam dua kalimah syahadah Namamu disebut di dalam doa selepas wudhuk Namamu juga disebut di dalam doa selepas azan dan iqamah Namamu disebut di dalam sebarang doa agar dikabulkan permintaan Sungguh mulia engkau, namamu disebut di mana-mana sahaja Di dalam sembahyang namamu disebut ketika tahiyyat Jika tidak disebut tidak sah solat Belum lagi pencinta-pencinta engkau yang mabuk dengan engkau Mereka lebih-lebih banyak lagi menyebut nama engkau Iaitu engkau disebut di dalam selawat Sebelum sembahyang, selepas sembahyang, di dalam sembahyang, ketika berkhalwat Setiap yang berzikir namamu mesti disebut orang berulang kali Seolah-olah engkau masih hidup di dunia ini Ya Nabi namamu sungguh harum semerbak mewangi Ya! Namamu dihidup orang sekalipun jasadmu sudah dikebumi Apa sahaja upacara Islam namamu mesti disebut Di dalam khutbah namamu disebut oleh khatib di atas mimbar Apatah lagi di masa maulidmu, selawat berkumandang tidak jemu-jemu Seolah-olah engkau bersama di majlis itu Seolah-olah engkau masih hidup bersama kami atau mereka Begitulah cintanya Tuhan kepadamu, hingga namamu disebut selalu bahkan setiap waktu Tuhan menselawatkanmu, para malaikat juga begitu Orang mukmin dianjurkan menselawatkanmu selalu semahu-mahunya Hingga tidak ada ruang dan masa yang kosong yang tidak disebut namamu Namamu disebut di langit dan di bumi Begitulah kehormatan yang engkau perolehi dari Tuhanmu Belum lagi menyebut peribadi, sikap dan perbuatanmu Engkau adalah contoh segala contoh, ikutan di dalam sebarang hal Contoh dan ikutan yang tidak ada tandingan sebarang zaman Samada orang sebelum kelahiranmu mahupun setelah kelahiranmu Engkau memanglah Sohibulazman Engkau adalah bapa mithali bagi seluruh keluarga dan manusia Engkau didik mereka mencintai Tuhan dan Akhirat Mereka jual dunia untuk Akhirat mereka Engkau adalah laksana ibu tempat bermanja tidak ada taranya Tempat mengadu, tempat meminta, tempat mencurahkan perasaan Guru yang luarbiasa, pemimpin sejati yang mengasihi dan dikasihi Engkau adalah kawan setia bahkan mengutamakan kawan setiap masa Di waktu musafir, ketika bermukim, engkau khidmati mereka Engkau jiran yang baik, engkau anggap jiran engkau adalah keluarga Kehormatan mereka engkau jaga, kesusahan mereka engkau bela Anak-anak yatim, fakir miskin, janda-janda engkau hiburkan, mereka terhibur Engkau sering sahaja bersama mereka, mereka bangga Kejahatan orang engkau balas dengan kebaikan Engkau pemaaf, menerima keuzuran, ziarah orang sakit, mengiringi jenazah Engkau pemurah, ibadahmu banyak, suka berkhidmat kepada orang Setiap kebaikan yang engkau cakapkan engkau berbuat Engkau sangat mencintai Tuhan dan Akhirat Para-para tetamu engkau sangat hormati dan menjaga keperluan mereka Janji engkau tepati, hutang orang engkau bayarkan Kesabaran engkau sangat terserlah, tawakal engkau menjadi budaya, keberanian engkau tidak ada tara Engkau sangat lemah lembut, tidak keras tapi tegas Engkau mesra dengan orang, peramah, marah tidak ketara Engkau tidak mengumpat, tidak menghina, tidak mengata Akhlak engkau tinggi, wibawa engkau luarbiasa Musuh-musuh engkau mengakui sekalipun mereka benci Pada diri engkau ada segala contoh-contoh bagi setiap golongan manusia Kalau seorang guru engkaulah contohnya, kalau seorang pemimpin engkaulah ikutannya Jika seorang bapa atau ibu engkaulah suri teladannya Jika suami engkaulah patut ditiru Sekiranya seorang kawan engkaulah contohnya Jika seorang ulama engkaulah contoh terbaik bagi ulama Kalau seorang mubaligh engkaulah tempat rujuknya Jika seorang pejuang engkaulah tempat ukurannya Engkau tidak payah ditonjol-tonjol memang engkau sudah tertonjol Engkau tidak payah berlakon-lakon membuat baik, engkau memang orang yang terbaik Engkau tidak perlu pura-pura baik memang sikap engkau sudah baik dan terdidik Engkau tidak payah meminta disanjung, kerana semua orang menyanjung engkau tanpa diminta Dunia hari ini memerlukan pemimpin, guru, bapa, ibu, mubaligh, pejuang, suami, kawan, peniaga bayanganmu ya Rasullullah Hari ini semua golongan bukan bayanganmu lagi Kerana itulah dunia hari ini huru-hara, haru-biru, krisis berlaku, pergaduhan, jenayah, perbalahan, peperangan Berlakulah kebimbangan dan ketakutan Allahummasalli ‘ala Saiyidina Muhammad wa ‘ala ali Saiyidina Muhammad posted by Rafiq at 5:50 PM PRINSIP KEPEMIMPINAN DAN PERJUANGAN ISLAM Oleh : Panel Penulis JAKIM Dalam sirah perjuangan Rasulullah s.a.w. terdapat pelbagai bentuk tindakan yang telah dilakukan oleh baginda untuk mencapai matlamat penegakan dan pengukuhan negara Islam. Berdasarkan tindakan-tindakan baginda yang berbagai-bagai itu maka kita dapat mengambil beberapa qawa’idul ‘ammah atau prinsip-prinsip umum sebagai panduan kepada kepemimpinan dan perjuangan Islam hari ini. Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip umum yang dapat kita pelajari dari perjuangan Rasulullah s.a.w. Kejelasan visi dan cara penyampaian Dalam al-Quran, Allah memerintahkan Rasulullah s.a.w. melaksanakan seruan risalah-Nya secara terang-terangan seperti yang dijelaskan oleh firman Allah yang maksudnya:“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”(Al-Hijr: 94) Dalam ayat yang lain pula, Allah berfirman yang bermaksud:“Dan katakanlah: Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang terang.”(Al-Hijr: 89) Berpandukan perintah dari Allah yang setegas itu maka Rasulullah s.a.w. naik ke bukit Safa untuk memanggil kaum Quraisy dengan suara yang lantang. Baginda berteriak: “Ya Sahabah! Ya Sahabah!”. Panggilan yang dipakai oleh Rasulullah s.a.w. ini adalah satu cara yang digunakan oleh bangsa Arab jika ada sesuatu perkara yang penting. Setelah mereka berkumpul baginda pun berkata:“Hai Banu Abdul Muttalib, hai Banu Fihr, hai Banu Ka’ab, bagaimana pendapat kamu sekalian jika aku khabarkan bahawa di sebalik gunung ini ada sepasukan musuh yang berkuda datang untuk membinasakan kamu? Apakah kamu percaya dengan apa yang aku katakan?” Jawab mereka: “Ya kami akan percaya.” Kata Rasulullah s.a.w.: “Ketahuilah kamu sekalian bahawa aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kamu tentang datangnya azab dari Allah.” Sejak awal lagi Rasulullah s.a.w. telah menyampaikan risalah Islam secara terang dan jelas serta tidak berselindung dalam menyatakan tuntutan Islam ke atas umat manusia. Bagi kabilah Arab yang datang ke kota Makkah untuk menunaikan haji pun baginda menyampaikan risalah secara jelas tanpa berselindung-selindung. Baginda berkata: “Hai Bani Fulan! Sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah yang diutus kepada kamu sekalian. Allah memerintahkan kamu semua untuk menyembah-Nya dengan tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu. Hendaklah kamu tinggalkan segala macam bentuk penyembahan selain Allah. Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan membelaku agar aku dapat menyampaikan risalah ini kepada kamu semua.” Sikap Rasulullah s.a.w. menyampaikan risalah dan visi Islam secara lantang dan jelas ini telah menaikkan kemarahan para pemimpin Quraisy. Bagi memujuk Rasulullah s.a.w. meninggikan dakwahnya, mereka telah mengutuskan Utbah ibn Rabi’ah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Setelah mendengar ucapan Utbah lalu bagindapun membaca ayat-ayat pertama Surah Fussilat sehingga ayat yang maksudnya: “Bila mereka berpaling, maka katakanlah: Aku telah memperingatkan kamu dengan petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Thamud.”(Fussilat: 13) Mendengarkan sahaja ayat ini lantas Utbah menutup telinganya dengan kedua-dua belah tangan seolah-olah terasa hendak disambar petir. Setelah itu ia kembali ke tengah-tengah kaumnya dan menyarankan supaya Rasulullah s.a.w. dibiarkan sahaja dan jangan diganggu. Tawaran-tawaran yang dikemukan oleh Utbah telah ditolak oleh Rasulullah s.a.w. kerana semuanya adalah jalan-jalan yang akan memesongkan baginda s.a.w. daripada menyampaikan risalah Islam dengan sejelas-jelasnya. Ini kerana pengaruh harta dan kedudukan boleh menganggu kelancaran dan keberkesanan risalah Islam. Daripada dasar ini dapatlah diyakini bahawa metode pengukuhan sesebuah pemerintahan Islam mestilah berpegang kepada kaedah kejelasan visi dan risalah Islam dari segi matlamat, intipatinya dan pendekatan penyampaiannya. 1. Pelaksanaan menurut kemampuan Pemerintahan dan pentadbiran negara Islam hendaklah bergerak menurut kadar kemampuan struktur pengurusan, kepemimpinan, anggota-anggota, para pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Dasar ini diambil dari sabda Rasulullah s.a.w. :“Apabila aku perintahkan dengan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuannya.”(riwayat Ibn as-Subki) Namun demikian apa yang dimaksudkan dengan kemampuan di sini hendaklah ianya memenuhi tuntutan-tuntutan al-Quran. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan persiapan itu) kamu akan menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”(Al-Anfal: 60) Perkataan ‘kekuatan’ dalam ayat ini mengandungi pengertian segala daya dan tenaga serta segala perkakas dan kelengkapan yang dapat membuat hati musuh menjadi kecut dan gentar. Demikianlah juga mesej yang disampaikan dalam firman Allah yang bermaksud: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”(At-Taghabun: 16) Ayat ini juga menjadi dalil bahawa setiap usaha yang dilaksanakan hendaklah menurut kapasiti kekuasaan dan kemampuan yang sedia ada. Oleh hal yang demikian, pemerintahan dan pentadbir bagi sesebuah negara Islam mestilah bergerak menurut kemampuan struktur pengurusannya daripada segi persediaan kekuatan dalaman, perencanaan strategi dan keupayaan untuk melaksanakan strategi tersebut. Bergerak menurut kemampuan yang ada di kalangan kepemimpinan pula hendaklah dilihat daripada segi penguasaan kepemimpinan terhadap permasalahan dalaman negara seperti penguasaan terhadap kerangka pentadbiran serta jentera-jenteranya dan penguasaan terhadap ahli-ahli serta pengagihan tenaga mereka. Daripada segi luaran pula adalah berkenaan penguasaan kepemimpinan terhadap musuh-musuh serta persediaan mereka dan segala faktor-faktor luar yang boleh menjejaskan matlamat. Kemampuan anggota dan badan pelaksana pula hendaklah diambil kira semasa pemerintahan negara Islam bergerak melaksanakan dakwah dan jihad di dalam masyarakat. Ini hendaklah dilihat pertamanya dari sudut keupayaan ahli-ahli melaksanakan tugas-tugas yang dipertanggungjawabkan dan keduanya dari segi kualiti dan kuantiti ahli. Perjuangan pemerintahan Islam juga mestilah bergerak dengan mengukur kemampuan pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Ini berlandaskan kepada hakikat masyarakat umum lebih mudah terpengaruh dan tertipu dengan pujukan golongan jahiliyyah. Firman Allah yang bermaksud: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya kerana sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”(Az-Zukhruf: 54) Di dalam tafsir Ibn Kathir disebutkan bahawa yang dimaksudkan dengan ‘mempengaruhi’ ialah mempengaruhi akal mereka sehingga mudah diajak kepada kesesatan dan menjadi pengikutnya. Berdasarkan kepada tabi’at masyarakat umum yang begini maka perjuangan mengukuhkan pemerintahan Islam perlulah bergerak dengan berhati-hati agar tidak ada tindakannya yang boleh dijadikan oleh jahiliyyah sebagai bahan untuk mengelirukan masyarakat umum. Sekiranya jahiliyyah masih lagi cuba untuk mengelirukan masyarakat dengan isu-isu tertentu, maka pucuk pimpinan negara Islam hendaklah bersedia sepenuhnya untuk menjelaskan kekeliruan ini sebaik-baiknya kepada mereka. Seruan risalah Islam dan penekanan-penekanan tertentu yang hendak dibawa oleh kepimpinan pemerintahan Islam mestilah bersesuaian dengan kemampuan masyarakat untuk memahami dan menerimanya. Sekiranya rata-rata umat Islam masih lagi belum memahami banyak perkara berkaitan dengan Islam dan tuntutan-tuntutannya, maka wajarlah pucuk pimpinan dan badan pelaksana negara Islam menangguhkan sesuatu tindakan yang dirasakan boleh memesongkan matlamat asal perjuangan mendaulatkan Islam. Sebaliknya penumpuan hendaklah dilakukan terhadap pentarbiyahan dan pembentukan masyarakat secara menyeluruh. Pendekatan pucuk pimpinan yang bergerak menurut kemampuannya dan kemampuan masyarakat yang ingin diubahnya, adalah pemimpin yang bijak dalam menggembleng tenaga, pandai memanfaatkan keadaan dan tahu untuk mengelak sebarang kemudaratan dan kerosakan. Berhati-hati dalam tindakan Kaedah ini diambil dari tuntutan Al-Quran iaitu dalam firman Allah yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, ambillah langkah-langkah kewaspadaanmu dan majulah berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama.”(An-Nisa’: 71) Dan juga berdasarkan firman Allah dalam ayat yang lain bermaksud: “Orang-orang kafir itu menghendaki kamu supaya lalai terhadap senjata dan persiapanmu, maka mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”(An-Nisa’: 102) Al-Qurtubi dalam mentafsirkan ayat ini berkata: “Para ulama merasakan adalah amat penting bersifat sentiasa berwaspada dan selalu mengajak manusia supaya waspada kerana ini memenuhi maksud perintah al-Quran.” Dalam sirah nabawiyah terdapat banyak peristiwa yang membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. mengambil berat berkenaan sifat berhati-hati atau waspada ini. Sejak permulaan dakwah lagi baginda mengumpulkan beberapa sahabatnya dan melaksanakan pentarbiyahan secara rahsia. Para sahabat pula apabila hendak solat, mereka pergi ke lembah-lembah dan menunaikan solat secara sembunyi-sembunyi. Semasa peristiwa hijrah pula Rasulullah s.a.w. telah merancangkan pemergiannya bersama saidina Abu Bakar dengan penuh waspada agar tidak diketahui oleh musuh. Di Madinah pula Rasulullah s.a.w. sentiasa mengutuskan pasukan-pasukan kawalan untuk memerhati pergerakan musuh di kawasan-kawasan sempadan negara. Dari seluruh tindakan-tindakan waspada yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dapat dirumuskan bahawa matlamatnya adalah untuk menjaga perjalanan dakwah, penyebaran risalah yang dipimpinnya dan pengukuhan sistem pemerintahan Islam. Tindakan berhati-hati dalam apa juga bentuk, bukan bertujuan untuk menyembunyikan dakwah dan risalah Islam. Tidak pula tindakan ini bertujuan untuk membawa umat Islam ke belakang. Kewaspadaan bertujuan untuk mengembangkan risalah dan mendaulatkan pemerintahan Islam dengan cara menutup pintu-pintu mudarat yang mungkin akan menghancurkan atau menyekat perkembangannya sama sekali. Melaksanakan tindakan berhati-hati dalam bergerak bukanlah sifat pengecut. Kepimpinan Islam tidak berjuang untuk mendapat kemasyhuran dari segi mempunyai ahli-ahli yang berani mati atau mendapat kepopularan. Sekiranya sesuatu tindakan itu akan membawa mudarat, maka berwaspada dan tidak mengambil sebarang tindakan adalah merupakan satu tindakan yang paling wajar dan dianggap sebagai amal saleh di sisi Islam. Hikmah dalam tindakan Antara prinsip asas kepimpinan dan perjuangan Islam yang dapat diambil dari sirah nabawiyah juga ialah hikmah dalam tindakan. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik lagi indah, dan berbahas dengan mereka secara yang baik lagi indah.”(An-Nahl: 125) Hikmah mencakupi makna yang amat luas. Para ulama mengertikannya sebagai rahsia-rahsia ad-Din serta ketentuan syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah s.a.w. dan mereka juga mengisyaratkan hikmah sebagai sunnah. Dalam manhaj perjuangan Islam, penggunaan asalib dan wasa’il yang luas adalah merupakan tindakan hikmah sama ada bagi mencapai ahdaf (sasaran-sasaran tertentu) ataupun ghayah (matlamat akhir). Hikmah di sini dilihat dari segi kesesuaian sesuatu tindakan yang diambil berteraskan tuntutan menjaga maslahat dan mengelak kemudaratan. Sekiranya sesuatu tindakan yang diambil melalui nasihat, pujukan dan memberi kemaafan boleh membawa maslahat yang bersesuaian dengan syari’at, ataupun ia dapat menghindarkan mudarat, maka tindakan itu dianggap hikmah. Dalam amsa yang sama sekiranya mengangkat senjata, mengisytiharkan jihad atau menghukum bunuh terhadap musuh-musuh dianggap berupaya membawa maslahat yang lebih luas kepada perjuangan Islam, maka melaksanakan tindakan-tindakan tersebut pula dianggap hikmah di sisi syariat Islam. Mengambil kira waqi’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seandainya bukan kerana kaum kamu yang baru saja keluar dari masa jahiliyyah nescaya aku ubah Ka’bah itu dan aku lekatkan ke bumi (iaitu pintu Ka’bah), dan aku jadikan baginya dua pintu, iaitu pintu yang manusia masuk daripadanya dan pintu yang manusia keluar daripadanya.”(riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulullah s.a.w. tidak melaksanakan perkara ini kerana menurut baginda ia adalah lebih utama memandang suasana di mana orang-orang Quraisy baru saja memeluk Islam. Sekiranya baginda laksanakan juga nescaya mereka lari dari Islam. Larinya Quraisy dari Islam ketika itu adalah keadaan mafsadah atau mudarat kepada maslahat yang diperjuangkan. Maka ini bermakna Rasulullah s.a.w. telah meraikan pandangan umum dalam perkara yang tidak mengakibatkan tergendalanya sesuatu amal yang telah ditetapkan oleh Allah. Penetapan sesuatu tindakan dengan memerhatikan suasana dan mengambil kira waqi’ masyarakat setempat adalah dilandaskan kepada satu kaedah fiqh iaitu: “Adat (kebiasaan) itu boleh ditetapkan sebagai hukum.”Menurut kaedah ini, meraikan atau mengambil berat terhadap pandangan umum setempat dan pandangan dunia merupakan satu daripada dasar-dasar Islam. Pandangan-pandangan ini diraikan dalam hal-hal yang tidak menyekat syariat. Sekiranya hal-hal itu bertentangan dengan syariat Islam atau akan menyekat syariat maka pandangan-pandangan itu tidak boleh diraikan. Kepimpinan Islam mestilah benar-benar memahami waqi’. Pemahaman terhadap waqi’ yang tepat dapat membantu perjuangan untuk menegakkan Islam. Ini kerana pemerintahan Islam dapat memahami apakah faktor-faktor yang boleh melambatkan penyebaran dan penerimaan risalah di dalam masyarakat. Ia juga dapat mengenali di manakah letaknya elemen-elemen kuasa dalam masyarakat yang mengarahkan serta mempengaruhi segala tindakan masyarakat. Pengetahuan pucuk pimpinan Islam terhadap kedua-dua faktor ini akan membantunya dalam merencanakan strategi yang lancar dan kemas di dalam masyarakat sehingga akhirnya mampu mendaulatkan Islam di atas muka bumi ini. Demikianlah prinsip-prinsip umum dan asas kepada metode kepimpinan dan perjuangan Islam bersandarkan tuntutan syarak yang dapat dinukil dari sirah nabawiyah. Prinsip-prinsip ini hendaklah dilihat secara keseluruhan di dalam menimbang sesuatu tindakan yang akan diambil. Mengambil prinsip ini secara berasingan ataupun menekankan kepada sesuatu prinsip semata-mata akan mengakibatkan tindakan yang kurang matang serta merugikan kedaulatan pemerintahan dan negara Islam. Pengabaian terhadap dasar-dasar ini pula akan menjauhkan kepemimpinan dan perjuangan umat dari matlamat sebenar. PRINSIP KEPEMIMPINAN DAN PERJUANGAN ISLAM Oleh : Panel Penulis JAKIM Dalam sirah perjuangan Rasulullah s.a.w. terdapat pelbagai bentuk tindakan yang telah dilakukan oleh baginda untuk mencapai matlamat penegakan dan pengukuhan negara Islam. Berdasarkan tindakan-tindakan baginda yang berbagai-bagai itu maka kita dapat mengambil beberapa qawa’idul ‘ammah atau prinsip-prinsip umum sebagai panduan kepada kepemimpinan dan perjuangan Islam hari ini. Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip umum yang dapat kita pelajari dari perjuangan Rasulullah s.a.w. Kejelasan visi dan cara penyampaian Dalam al-Quran, Allah memerintahkan Rasulullah s.a.w. melaksanakan seruan risalah-Nya secara terang-terangan seperti yang dijelaskan oleh firman Allah yang maksudnya:“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”(Al-Hijr: 94) Dalam ayat yang lain pula, Allah berfirman yang bermaksud:“Dan katakanlah: Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang terang.”(Al-Hijr: 89) Berpandukan perintah dari Allah yang setegas itu maka Rasulullah s.a.w. naik ke bukit Safa untuk memanggil kaum Quraisy dengan suara yang lantang. Baginda berteriak: “Ya Sahabah! Ya Sahabah!”. Panggilan yang dipakai oleh Rasulullah s.a.w. ini adalah satu cara yang digunakan oleh bangsa Arab jika ada sesuatu perkara yang penting. Setelah mereka berkumpul baginda pun berkata:“Hai Banu Abdul Muttalib, hai Banu Fihr, hai Banu Ka’ab, bagaimana pendapat kamu sekalian jika aku khabarkan bahawa di sebalik gunung ini ada sepasukan musuh yang berkuda datang untuk membinasakan kamu? Apakah kamu percaya dengan apa yang aku katakan?” Jawab mereka: “Ya kami akan percaya.” Kata Rasulullah s.a.w.: “Ketahuilah kamu sekalian bahawa aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kamu tentang datangnya azab dari Allah.” Sejak awal lagi Rasulullah s.a.w. telah menyampaikan risalah Islam secara terang dan jelas serta tidak berselindung dalam menyatakan tuntutan Islam ke atas umat manusia. Bagi kabilah Arab yang datang ke kota Makkah untuk menunaikan haji pun baginda menyampaikan risalah secara jelas tanpa berselindung-selindung. Baginda berkata: “Hai Bani Fulan! Sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah yang diutus kepada kamu sekalian. Allah memerintahkan kamu semua untuk menyembah-Nya dengan tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu. Hendaklah kamu tinggalkan segala macam bentuk penyembahan selain Allah. Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan membelaku agar aku dapat menyampaikan risalah ini kepada kamu semua.” Sikap Rasulullah s.a.w. menyampaikan risalah dan visi Islam secara lantang dan jelas ini telah menaikkan kemarahan para pemimpin Quraisy. Bagi memujuk Rasulullah s.a.w. meninggikan dakwahnya, mereka telah mengutuskan Utbah ibn Rabi’ah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Setelah mendengar ucapan Utbah lalu bagindapun membaca ayat-ayat pertama Surah Fussilat sehingga ayat yang maksudnya: “Bila mereka berpaling, maka katakanlah: Aku telah memperingatkan kamu dengan petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Thamud.”(Fussilat: 13) Mendengarkan sahaja ayat ini lantas Utbah menutup telinganya dengan kedua-dua belah tangan seolah-olah terasa hendak disambar petir. Setelah itu ia kembali ke tengah-tengah kaumnya dan menyarankan supaya Rasulullah s.a.w. dibiarkan sahaja dan jangan diganggu. Tawaran-tawaran yang dikemukan oleh Utbah telah ditolak oleh Rasulullah s.a.w. kerana semuanya adalah jalan-jalan yang akan memesongkan baginda s.a.w. daripada menyampaikan risalah Islam dengan sejelas-jelasnya. Ini kerana pengaruh harta dan kedudukan boleh menganggu kelancaran dan keberkesanan risalah Islam. Daripada dasar ini dapatlah diyakini bahawa metode pengukuhan sesebuah pemerintahan Islam mestilah berpegang kepada kaedah kejelasan visi dan risalah Islam dari segi matlamat, intipatinya dan pendekatan penyampaiannya. 1. Pelaksanaan menurut kemampuan Pemerintahan dan pentadbiran negara Islam hendaklah bergerak menurut kadar kemampuan struktur pengurusan, kepemimpinan, anggota-anggota, para pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Dasar ini diambil dari sabda Rasulullah s.a.w. :“Apabila aku perintahkan dengan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuannya.”(riwayat Ibn as-Subki) Namun demikian apa yang dimaksudkan dengan kemampuan di sini hendaklah ianya memenuhi tuntutan-tuntutan al-Quran. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan persiapan itu) kamu akan menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”(Al-Anfal: 60) Perkataan ‘kekuatan’ dalam ayat ini mengandungi pengertian segala daya dan tenaga serta segala perkakas dan kelengkapan yang dapat membuat hati musuh menjadi kecut dan gentar. Demikianlah juga mesej yang disampaikan dalam firman Allah yang bermaksud: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”(At-Taghabun: 16) Ayat ini juga menjadi dalil bahawa setiap usaha yang dilaksanakan hendaklah menurut kapasiti kekuasaan dan kemampuan yang sedia ada. Oleh hal yang demikian, pemerintahan dan pentadbir bagi sesebuah negara Islam mestilah bergerak menurut kemampuan struktur pengurusannya daripada segi persediaan kekuatan dalaman, perencanaan strategi dan keupayaan untuk melaksanakan strategi tersebut. Bergerak menurut kemampuan yang ada di kalangan kepemimpinan pula hendaklah dilihat daripada segi penguasaan kepemimpinan terhadap permasalahan dalaman negara seperti penguasaan terhadap kerangka pentadbiran serta jentera-jenteranya dan penguasaan terhadap ahli-ahli serta pengagihan tenaga mereka. Daripada segi luaran pula adalah berkenaan penguasaan kepemimpinan terhadap musuh-musuh serta persediaan mereka dan segala faktor-faktor luar yang boleh menjejaskan matlamat. Kemampuan anggota dan badan pelaksana pula hendaklah diambil kira semasa pemerintahan negara Islam bergerak melaksanakan dakwah dan jihad di dalam masyarakat. Ini hendaklah dilihat pertamanya dari sudut keupayaan ahli-ahli melaksanakan tugas-tugas yang dipertanggungjawabkan dan keduanya dari segi kualiti dan kuantiti ahli. Perjuangan pemerintahan Islam juga mestilah bergerak dengan mengukur kemampuan pendokong dan masyarakat keseluruhannya. Ini berlandaskan kepada hakikat masyarakat umum lebih mudah terpengaruh dan tertipu dengan pujukan golongan jahiliyyah. Firman Allah yang bermaksud: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya kerana sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”(Az-Zukhruf: 54) Di dalam tafsir Ibn Kathir disebutkan bahawa yang dimaksudkan dengan ‘mempengaruhi’ ialah mempengaruhi akal mereka sehingga mudah diajak kepada kesesatan dan menjadi pengikutnya. Berdasarkan kepada tabi’at masyarakat umum yang begini maka perjuangan mengukuhkan pemerintahan Islam perlulah bergerak dengan berhati-hati agar tidak ada tindakannya yang boleh dijadikan oleh jahiliyyah sebagai bahan untuk mengelirukan masyarakat umum. Sekiranya jahiliyyah masih lagi cuba untuk mengelirukan masyarakat dengan isu-isu tertentu, maka pucuk pimpinan negara Islam hendaklah bersedia sepenuhnya untuk menjelaskan kekeliruan ini sebaik-baiknya kepada mereka. Seruan risalah Islam dan penekanan-penekanan tertentu yang hendak dibawa oleh kepimpinan pemerintahan Islam mestilah bersesuaian dengan kemampuan masyarakat untuk memahami dan menerimanya. Sekiranya rata-rata umat Islam masih lagi belum memahami banyak perkara berkaitan dengan Islam dan tuntutan-tuntutannya, maka wajarlah pucuk pimpinan dan badan pelaksana negara Islam menangguhkan sesuatu tindakan yang dirasakan boleh memesongkan matlamat asal perjuangan mendaulatkan Islam. Sebaliknya penumpuan hendaklah dilakukan terhadap pentarbiyahan dan pembentukan masyarakat secara menyeluruh. Pendekatan pucuk pimpinan yang bergerak menurut kemampuannya dan kemampuan masyarakat yang ingin diubahnya, adalah pemimpin yang bijak dalam menggembleng tenaga, pandai memanfaatkan keadaan dan tahu untuk mengelak sebarang kemudaratan dan kerosakan. Berhati-hati dalam tindakan Kaedah ini diambil dari tuntutan Al-Quran iaitu dalam firman Allah yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, ambillah langkah-langkah kewaspadaanmu dan majulah berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama.”(An-Nisa’: 71) Dan juga berdasarkan firman Allah dalam ayat yang lain bermaksud: “Orang-orang kafir itu menghendaki kamu supaya lalai terhadap senjata dan persiapanmu, maka mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”(An-Nisa’: 102) Al-Qurtubi dalam mentafsirkan ayat ini berkata: “Para ulama merasakan adalah amat penting bersifat sentiasa berwaspada dan selalu mengajak manusia supaya waspada kerana ini memenuhi maksud perintah al-Quran.” Dalam sirah nabawiyah terdapat banyak peristiwa yang membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. mengambil berat berkenaan sifat berhati-hati atau waspada ini. Sejak permulaan dakwah lagi baginda mengumpulkan beberapa sahabatnya dan melaksanakan pentarbiyahan secara rahsia. Para sahabat pula apabila hendak solat, mereka pergi ke lembah-lembah dan menunaikan solat secara sembunyi-sembunyi. Semasa peristiwa hijrah pula Rasulullah s.a.w. telah merancangkan pemergiannya bersama saidina Abu Bakar dengan penuh waspada agar tidak diketahui oleh musuh. Di Madinah pula Rasulullah s.a.w. sentiasa mengutuskan pasukan-pasukan kawalan untuk memerhati pergerakan musuh di kawasan-kawasan sempadan negara. Dari seluruh tindakan-tindakan waspada yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dapat dirumuskan bahawa matlamatnya adalah untuk menjaga perjalanan dakwah, penyebaran risalah yang dipimpinnya dan pengukuhan sistem pemerintahan Islam. Tindakan berhati-hati dalam apa juga bentuk, bukan bertujuan untuk menyembunyikan dakwah dan risalah Islam. Tidak pula tindakan ini bertujuan untuk membawa umat Islam ke belakang. Kewaspadaan bertujuan untuk mengembangkan risalah dan mendaulatkan pemerintahan Islam dengan cara menutup pintu-pintu mudarat yang mungkin akan menghancurkan atau menyekat perkembangannya sama sekali. Melaksanakan tindakan berhati-hati dalam bergerak bukanlah sifat pengecut. Kepimpinan Islam tidak berjuang untuk mendapat kemasyhuran dari segi mempunyai ahli-ahli yang berani mati atau mendapat kepopularan. Sekiranya sesuatu tindakan itu akan membawa mudarat, maka berwaspada dan tidak mengambil sebarang tindakan adalah merupakan satu tindakan yang paling wajar dan dianggap sebagai amal saleh di sisi Islam. Hikmah dalam tindakan Antara prinsip asas kepimpinan dan perjuangan Islam yang dapat diambil dari sirah nabawiyah juga ialah hikmah dalam tindakan. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik lagi indah, dan berbahas dengan mereka secara yang baik lagi indah.”(An-Nahl: 125) Hikmah mencakupi makna yang amat luas. Para ulama mengertikannya sebagai rahsia-rahsia ad-Din serta ketentuan syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah s.a.w. dan mereka juga mengisyaratkan hikmah sebagai sunnah. Dalam manhaj perjuangan Islam, penggunaan asalib dan wasa’il yang luas adalah merupakan tindakan hikmah sama ada bagi mencapai ahdaf (sasaran-sasaran tertentu) ataupun ghayah (matlamat akhir). Hikmah di sini dilihat dari segi kesesuaian sesuatu tindakan yang diambil berteraskan tuntutan menjaga maslahat dan mengelak kemudaratan. Sekiranya sesuatu tindakan yang diambil melalui nasihat, pujukan dan memberi kemaafan boleh membawa maslahat yang bersesuaian dengan syari’at, ataupun ia dapat menghindarkan mudarat, maka tindakan itu dianggap hikmah. Dalam amsa yang sama sekiranya mengangkat senjata, mengisytiharkan jihad atau menghukum bunuh terhadap musuh-musuh dianggap berupaya membawa maslahat yang lebih luas kepada perjuangan Islam, maka melaksanakan tindakan-tindakan tersebut pula dianggap hikmah di sisi syariat Islam. Mengambil kira waqi’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seandainya bukan kerana kaum kamu yang baru saja keluar dari masa jahiliyyah nescaya aku ubah Ka’bah itu dan aku lekatkan ke bumi (iaitu pintu Ka’bah), dan aku jadikan baginya dua pintu, iaitu pintu yang manusia masuk daripadanya dan pintu yang manusia keluar daripadanya.”(riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulullah s.a.w. tidak melaksanakan perkara ini kerana menurut baginda ia adalah lebih utama memandang suasana di mana orang-orang Quraisy baru saja memeluk Islam. Sekiranya baginda laksanakan juga nescaya mereka lari dari Islam. Larinya Quraisy dari Islam ketika itu adalah keadaan mafsadah atau mudarat kepada maslahat yang diperjuangkan. Maka ini bermakna Rasulullah s.a.w. telah meraikan pandangan umum dalam perkara yang tidak mengakibatkan tergendalanya sesuatu amal yang telah ditetapkan oleh Allah. Penetapan sesuatu tindakan dengan memerhatikan suasana dan mengambil kira waqi’ masyarakat setempat adalah dilandaskan kepada satu kaedah fiqh iaitu: “Adat (kebiasaan) itu boleh ditetapkan sebagai hukum.”Menurut kaedah ini, meraikan atau mengambil berat terhadap pandangan umum setempat dan pandangan dunia merupakan satu daripada dasar-dasar Islam. Pandangan-pandangan ini diraikan dalam hal-hal yang tidak menyekat syariat. Sekiranya hal-hal itu bertentangan dengan syariat Islam atau akan menyekat syariat maka pandangan-pandangan itu tidak boleh diraikan. Kepimpinan Islam mestilah benar-benar memahami waqi’. Pemahaman terhadap waqi’ yang tepat dapat membantu perjuangan untuk menegakkan Islam. Ini kerana pemerintahan Islam dapat memahami apakah faktor-faktor yang boleh melambatkan penyebaran dan penerimaan risalah di dalam masyarakat. Ia juga dapat mengenali di manakah letaknya elemen-elemen kuasa dalam masyarakat yang mengarahkan serta mempengaruhi segala tindakan masyarakat. Pengetahuan pucuk pimpinan Islam terhadap kedua-dua faktor ini akan membantunya dalam merencanakan strategi yang lancar dan kemas di dalam masyarakat sehingga akhirnya mampu mendaulatkan Islam di atas muka bumi ini. Demikianlah prinsip-prinsip umum dan asas kepada metode kepimpinan dan perjuangan Islam bersandarkan tuntutan syarak yang dapat dinukil dari sirah nabawiyah. Prinsip-prinsip ini hendaklah dilihat secara keseluruhan di dalam menimbang sesuatu tindakan yang akan diambil. Mengambil prinsip ini secara berasingan ataupun menekankan kepada sesuatu prinsip semata-mata akan mengakibatkan tindakan yang kurang matang serta merugikan kedaulatan pemerintahan dan negara Islam. Pengabaian terhadap dasar-dasar ini pula akan menjauhkan kepemimpinan dan perjuangan umat dari matlamat sebenar. WANITA Segala puji hanya bagimu Tuhan Lantaran telah menjadikan daku seorang wanita Dicipta dari tulang rusuk kiri Adam Dengan seindah dan sebaik ciptaan Daku Situlang bengkok Yang Kau gubah dengan kekuatan perasaan Mengatasi panjangnya akal fikiran Sebagai fitrah dan anugerah Hasil doa seorang lelaki Namun Ya Allah Biarkan kejadianku memberi guna Bengkok yang ada menfaatnya Kiranya daku menjadi seorang isteri Kurniakanlah padaku kekuatan Menjadi tulang belakang seorang suami.. seorang mujahid Pengembang perjuangan disayap kiri Diadun dengan kelembutan Menjadi teman sejati.. sahabat setia penyejuk mata Pembina semangat dan penguat jiwa Seanggun peribadi Siti Khadijah Ketenangan Baginda Rasulullah utusan Allah Bebas jiwa dari belenggu keperempuanan Yang memiliki sembilan nafsu Merdeka dari kepentingan peribadi Setulus Siti Fatimah yang sering ditinggalkan suami Saidina Ali Dihantar pemergiannya tanpa ditanya Bilakan pulang? Disambut kepulangannya dengan penuh khidmat dan kemanisan Bersulamkan kemesraan Rumahtangga adalah syurga Wadah suburnya cinta ketuhanan Ubudiyyah Akal yang tunggal tidak dibiarkan Hanya berlegar dicelehan periuk belanga Disebalik lipatan lampin anak Menjangkau kebangkitan Islam dialam sejagat Menjadi pentadbir disebalik tabir!! Namun Ya Tuhan Siapalah daku untuk memiliki Watak wanita solehah pendamping Nabi Dek berkaratnya mazmumah yang bersarang dihati Maka kurniakanlah daku Sekeping hati yang sentiasa insaf Hak seorang suami Tidak kan mungkin kupenuhi Biar telahku jilat nanahnya yang berlelehan Biar telahku tadahkan wajahku Buat mengesat debu ditelapak kakinya Dan sememangnya daku mengimpikan Watak seorang ibu Yang bakal melahirkan Putera putera secekal Mus'ab bin Umar Menggadai dunia demi kasih Tuhannya Segigih Zubair Ibnu Awwaam Yang diangkat Rasul sebagai hawarijnya Hasil didikan seorang wanita bergelar ibu Jua... Memiliki puteri setabah seteguh Masyitah Rela direbus demi mempertahankan iman Atau sesuci Maryan seluruh hidupnya Mengabdikan diri kepada Tuhan Meskipun daku bukan ibunya Yang memiliki peribadi semurni Siti Fatimah Ibu Syeikh Abdul Kadir Jailani Yang tiap titis darah mampu berzikir kehadrat Ilahi Namun... Mudah mudahan zuriatku Bakal menampilkan Mujahid mujahid yang rindu memburu syahid Srikandi srikandi yang mampu memakmurkan mukabumi Allah Dengan ketaqwaan.. kesolehah ramainya ummat Rasulullah Yang saling redha berkorban dan dikorbankan Buat menyemarakkan Islam diakhir zaman Sebagaimana kesah seorang ibu Yang telah kematian putera puteranya dimedan jihad; "Mereka telah berbahagia sebagaimana aku bahagia Aduhai.. kiranya aku punya seorang anak lagi Kurelakan dia turut gugur dijalan Ilahi". Dan seandainya daku ditaqdirkan kehilangan mereka Setenang Ummu Faisal Yang tidak menjadikan kematian suami dan anak anaknya Halangan kecintaan padaMu Ya Ilahi Redhalah daku yang dhaif ini sebagai hambaMu Inilah pengaduan harap dan munajat Kiranya kekasihMu sendiri pernah menyatakan "Kulihat kebanyakkan dari isi neraka itu adalah wanita"

THE SIX PILLARS OF IMAN

1.Belief In GOD(ALLAH)


Belief in one God, Allah in Arabic, constitutes the very foundation of Islam. There is no deity except Allah. He is indivisible and absolutely transcendent. God is the Almighty, the Creator and the Sustainer of the universe, Who is similar to nothing and nothing is comparable to Him.
The basic message of Islam is that God (Allah in Arabic) and His creation are distinctly different entities. Neither is Allah His creation or a part of it, nor is His creation Him or a part of Him. This might seem obvious, but, man's worship of creation instead of the Creator is to a large degree based on ignorance of this concept. It is the belief that the essence of Allah is everywhere in His creation or that His divine being is or was present in some aspects of His creation, which has provided justification for the worship of creation, though such worship may be called the worship of Allah through his creation.
However, the message of Islam as brought by the prophets of Allah is to worship only Allah and to avoid the worship of his creation either directly or indirectly.


Say: He is God, the One and Only; God, the Eternal, Absolute; He begets not, nor is He begotten; And there is none like unto Him. (Surah 112)
God is He, than Whom there is no other god;- Who knows (all things) both secret and open; He, Most Gracious, Most Merciful. God is He, than Whom there is no other god;- the Sovereign, the Holy One, the Source of Peace (and Perfection), the Guardian of Faith, the Preserver of Safety, the Exalted in Might, the Irresistible, the Supreme: Glory to God! (High is He) above the partners they attribute to Him.
He is God, the Creator, the Evolver, the Bestower of Forms (or Colors). To Him belong the Most Beautiful Names: whatever is in the heavens and on earth, doth declare His Praises and Glory: and He is the Exalted in Might, the Wise. (59:22-24)

The Unity Of God
From the beginning of mankind, the first of all revelations is the guidance in the understanding of the ONE TRUE CREATOR GOD - Who He is and who He is not. The One true God is a reflection of the unique concept that Islam associates with God. Oneness of God, means uncomprising and pure monotheism. Islam teaches that God is One and unique. The Unity of God, as taught in the Holy Quran implies that God is One in:
  • His zat, or person or essence
  • His sifat or qualities or attributes
  • His affal or work
His Oneness in His person means that there is neither plurality of gods nor plurality of persons in the godhead.
His oneness of attributes implies that no other being possess one or more of the Divine attributes to perfection.
His Oneness in works indicates that none can do the works which God has done or which God may do.
Nature of God
The Nature of God is summed up in the Holy Quran in Surah Ikhlas or Purity (of Faith): "Say: He is Allah, The One and Only, He is the Eternal, Absolute; He begets not, Nor is He begotten; And there is none Like unto Him. Ikhlas 112 : 1-4 Religious scholars have related that Allah has three thousand Names. One thousand are only known by angels, 1,000 known only by prophets, 300 are in the Torah (Old Testament), 300 are in Zabur (Psalms of David), 300 are in the New Testament, 99 are in the Qurfan. This makes 2,999 Names. One Name which has been hidden by Allah is called Ism Allah al-a'zam : The Greatest Name of Allah. All of Allah's Name are great, but since He has hidden this particular Name it is referred to as The Greatest Name. The Name is mentioned in the Qur'an as this Hadis States: Asma, radiyallah anhu, reports that Prophet Muhammad, peace and blessings of Allah be upon him, said : "The Greatest Name of Allah is in these two verses of the Qur'an, 'He who is worshipped by you is One God, there is no god but Him, the Compassionate and the Beneficent (sura II, 163) : also in the first part of sura Ali Imran, Alif Lam Min - Allah, there is no god but Him, the Alive, the Self-Subsisting. The word Allah is the essential personal name of God. There is no ilah other that the one Great Being known by the name "Allah"
The nature of Allah is here indicated to us in a few words, such as we can understand. Here we are specially taught to avoid the pitfall into which men and nations have fallen at various times in trying to understand Allah.
  • His nature is so sublime, so far beyond our limited conceptions, that the best way in which we can realise Him is to feel that He is a Personality, 'He', and not a mere abstract conception of philosophy. He is near us; He cares for us; we owe our existence to Him.
  • He is the One and Only God, the Only One to Whom worship is due; all other things or beings that we can think of are His creatures and in no way comparable to Him.
  • He is Eternal, without beginning or end, Absolute, not limited by time or place or circumstance, the Reality.
  • We must not think of Him as Having a son or a father, for that would be to import animal qualities into our conception of Him.
  • He is not like any other person or thing that we know or can imagine: His qualities and nature are unique.

He is All Powerful, Ruler and Master of all, who requires no partners nor has any offspring or family. God is Omnipotent and He is the Creator and Nourisher of the Universe and everything therein; the seen and the unseen, and He it is who takes care of all worlds. God is also Omniscient, Absoletely Just, Most Honorable, Most Excellent, Most Benevolent, Most Compassionate. He has no beginning and no end. He is Unique and spouseless. He is not born nor does He give birth, but He creates. He has control over the Universe and will be sole Jude on the Day of Judgement. To a Muslim, Allah is the Almighty, Creator and Sustainer of the universe, Who is similar to nothing and nothing is comparable to HIM. The Act of Creation
THEattributes to the act creation are the Creator, The Creator of the soul, the Fashioner of shapes, the Originator.
In trying to understand God, we are told to look into our own existence and the existence of this whole universe.
"It was indeed We who created man, and We know what dark suggestions his soul whispers to him for We are nearer to him than (his) jugular vein." Al-Qaf 50:16 Allah is nearer to man than man himself. The things we see and know are the objects of His creations. For example:
We can see anything with our eyes, but we cannot see our eyes without a mirror or a reflection cast on water, etc. The orderly behavior of stars and planets, the distance between the sun and the earth and the space between the moon and the earth are evidence of Allah' Power. We would have been burnt to cinders if the sun were just a little too near to our earth, and we would have been twice inundated by colossal floods everyday if the moon were to come closer to our globe.
His Qualities
THE qualities of Allah are described in numerous places in the Holy Quran. According to Ilmu al-Tauhid, the qualities of Allah are described as:
  • Wujud which means the Existence;
  • Qidam, the First without a beginning;
  • Baqa, the Eternal without an end;
  • Mukhalafatuhulil hawadith, the Difference from orginated things;
  • Qiamuhubinafsih, the Self-sufficing;
  • Wahdaniah, the Oneness in person, qualities and works;
  • Qudrat, The Mighty without any limbs or gear;
  • Iradat, He wills all learning and thinking;
  • Hayat, He lives without life of breath, food or water;
  • Sami',He hears without ears;
  • Basar, He Sees without eyes or light;
  • Kalam, he speaks without words, voice or language;
  • Allpowerfull; All-knowing; Everliving, Allhearing; all-seeing.

The knowledge of the Unity of God enables man to see himself in the right perspective in relation to his God, his fellow creatures and the world at large. His mind is free from fear of external influences from animate or inanimate objects, forces of nature and even manmade ism to dominate or exploit man. His fear is to Allah alone Whom he worships and to Whom he seeks help and guidance. He is free to uplift his own physical, moral and spiritual being.



2.Belief In ANGELS

MUSLIM belief in the existence of the angels of Allah and that they over "honoured servants". They do not speak before HE does, and they act only by His command (21:26) Allah created them and they worshipped and obeyed HIM. According to the Holy Book and the Hadith of Muhammad, the immediate servant of Allah to carry out His will are the angels. In the Quran 66:6 we are told:
"Angels, strong and severe, who resist not Allah in that He commandeth them, but do that which they are commanded." Nature Of Angels
ALTHOUGH classified as beings, the angels are sexless and are not endowed with powers of discrimination like those of the human beings. Theirs is to obey Allah and do precisely what they are commanded. Unlike man, they have no will of their own. Hence man is superior to angel. This is evident in Surah 2:34 where angels were commanded to make obeisance to man: " And behold, We said to the angels, 'Bow down to Adam'; and they bowed down; except Iblis (satan). He refused because of pride (of his so-called superior origin) and so be became a disbeliever." Can angels be seen? Angels are not settlers on earth. They are sent down from heaven. The Holy Quran mentions of the angelic hosts sent to help Muslims were not seen by human eyes. The manner in which Divine message is delivered by angel is by revealing it to the hearts of Prophets. The dumb can still communicate with the sign language without voice or words. There instances in the lives of several prophets especially Muhammad s.a.w. when the angel Jibrail or Gabriel was seen by the prophet coming with the Divine revelation, sometimes in the shape of a man. This, however, was not seen with the physical eyes but hose of spiritual. There were occasions when Prophet Muhammad received the Divine message while he was sitting among his Companions: yet no one heard the message nor saw the angel. What Are Angels Created From?
THEangels are immaterial beings. Angels are a special creation of Allah. Although in the Quran man is stated to have been created from dust and jinn or satan from fire, nothing is mentioned about the origin of angels.
However the Holy Prophet said that the angels are created from nur or the divine light. Thus the angels and jinns are two different classed of beings. Angels And Their Function
THEREis a host of angels in the kingdom of Allah. Prominent among them as stated in the Quran and Hadith are: Jibrail or Gabriel
CHIEFamong the angels, archangel Jibrail is also called Ruh al Amin or the Faithful Spirit and Ruh al Qudus or the Holy Spirit.
Jibrail's main function is to communicate God's message to mortal prophets. He revealed to Adam the twenty-one leaves; taught him the cultivation of wheat, the working of iron and the letters of the alphabet and he took him to the site of Mecca where he taught him the rites of pilgrimage.
To Noah, he showed how to build the Ark. He saved Ibrahim from the flame. It as Jibrail who helped Moses to fight against the magicians of Egypt. He was also instrumental in the destruction of Pharao's army in the Red Sea. He appeared to Samuel and Daud to whom he taught the art of making coats-of-mail. Mikail or Michael
GOD commands Mikail to look after the universe, the movement of stars and planets and all the galaxies, and the forces of nature. In Surah 2:98, Mikail is mentioned thus:
"Whoever is an enemy to Allah and His angels and apostles, to Jibrail and Mikail, verily Allah is an enemy to the unbelievers." Izrail
IZRAILis also known malakal Maut or Angel of Death. In Kisas al ambiya there is an account of how Izrail became the Angel of Death. When Allah wanted to create man, He commanded Jibrail to snath from earth a handful of its main constituents.
By the will of God, the earth stirred and begged Jibrail not to take any part of it to create a khalifahon earth for fear that in the end it might rebel against Allah and be tortured in hell. So Jibrail returned commanded him again, he would execute it this time.
But Allah commanded Mikail and Israfil who also failed. It was Izrail who turned a deaf ear to the earth and did what was commanded of him. When Izrail brought the handful of earth to Allah, God said that it was Izrail who brought the elements to create Adam and it shall also be Izrail who will take away the lives of Adam and his generation. Israfil
INthe Holy Quran, it is stated that when the time comes for the Day of Judgement, a trumpet will sound the blast to arouse men from the graves. It is the duty of Israfil to blow the trumpet. Surah 69: 13-20 describes what happens after the trumpet is blown thus:
"Then, when one blast is sounded on the trumpet, and the earth is moved and its mountains, and they are crushed to powder at one stroke; on that day shall the great Event come to pass, and the sky will be rent as sunder, for it will that Day be flimsy, and the angels will be on its sides and eight will, that Day bear the Throne of thy Lord above them. That day shall you be brought to Judgement: not one act of yours that you hide will be hidden." The number of angels and their other functions are known only to Allah.
While Raqib and Atid record our words, Kiraman and Katibun write down the deeds of men. We are told that as soon as the deed is laid in the tomb, two angels namely Munkar and Nakir would appear to interrogate his deeds in this world and examine his faith with such questions as whom he worships as God; who his Prophet is; who his Iman is; etc...., etc....
Two other known angels are Zabaniyah or the Guardian of Hell and Ridzwan or Keeper of Paradise.



  • strengthen the rightenous servants god;
  • give them comfort in trails and tribulations;
  • carry out Divine punishment against the wicked;
  • intecede and pray for men on behalf of sinner and those on earth;
  • help in the spiritual progress of man;
  • prompt man to noble deeds; and
  • record the deeds of man.

Significance of the belief in Angels
THEbelief in angels is not just a question of dogma o an article of faith. The proximity of these angels provide us with inducement to do what is good to please those honoured guest who are with us, it will also keep us from doing something evil not only because we feel shame before God but also before the angels who are with us, the presence of the angels help us avoid doing what is immoral or appropriate.
The Quran considers the belief in Angels as part of righteousness as expressed in 2:177 and 2:285. They help awake our moral consciousness.
To the one who has firm belief in God and angels he will hold on the God's promise as in Quran 41:30. "In the case of those who say "Our Lord is Allah", and furthermore stand straight and steadfast, the angels descend on them so that they will not fear nor grieve, but receive the glad tidings of the Garden or Bliss which were promised."



3.Belief In HOLY BOOK (AL-QURAN)


The Need For Revelations
MAN is endowed with the faculty to conquer and harness nature and subdue his enemies. Among God's creatures, man is the most powerful: even the stern and strong angels have to bow before him. Yet he is a weakling to his self. God, the Most Merciful and Forgiving, despite man's constant sins, resolved through His revelations to the prophet of a particular period. The revelations were then collected into scriptures or holy books which become man's guidance towards the righteous path of life as in Quran 2:24. "This is the Scripture or Book whereof there is no doubt, a guidance unto those who fear Allah. Who believe in the unseen, steadfast in prayer; and spend of that We have bestowed upon them; and who believe in the revelations sent to thee (Muhammad) and that which was revealed before thee, and are certain of the Hereafter." Revealed Book
The above verses also enjoin every Muslim to believe not only what was revealed to Muhammad but also those revealed before him.
THUS the third pillar of faith is to believe in revealed books namely:-
  • Taurat or the original Torah of Musa (Moses)
  • Zabur or the original Psalms of Daud (David)
  • Injil or the Original Gospel of Isa (Jesus)
  • Quran or Furqan and other Books of previous prophets.

All the above books are indicated in the following surahs and verses in the Quran : 3:3-4
"He hath revealed unto thee (Muhammad) the Book with truth, confirming that which was revealed before it. And He revealed the Taurat and the Injil as a guidance to mankind; and hath revealed the Furqan or Criterion (of right and wrong). Then those who disbelieve the revelations of Allah, theirs will be a heavy doom. Allah is mighty and Able to Requite (the wrong)". Quran : 4:163
"Lo! We inspire the (Muhammad) as we inspired Noah and prophets after him, as We inspired Ibrahim (Abraham) and Ismail (Ishmael) and Ishak (Isaac) and Ya'kub (Jacob) and the tribes and Isa (Jesus) and Lut (Lot) and Yunus (Jonah) and Harun (Aaron) and Sulaiman (Solomon), and unto Daud (David) we gave the Zabur."
Muhammad (s.a.w.) in the Bible
However, it is not the Torah or Pentateuch in the Old Testament, the Psalms and the Gospels in the New Testament, in the present form, that are required to be believed by Muslims. They have been tampered by human hands and no longer remain the original revelations of God. AND woe has indeed bee on half the mankind when the coming of Prophet Muhammad s.a.w. has not been given the proper commentary in the Bible such as in John 16:12 and 13:
"I have yet many things to say unto you, but ye cannot bear them now".
"Howbeit when he, the Spirit of truth is come, he will guide you into all truth : for he shall not speak of himself; but whatsoever he shall hear, that shall he speak : and he shall show you things to come". On both these verses, James M. Gray, D.D., in his Christian Workers' Commentary on the whole Bible states:
"Verses 12 and 13 of this chapter are 'Christ's preauthentications of the New Testament'. He would leave many things to be revealed for example, and this revelation would be completed after the Spirit came".
Who is "he, the Spirit of truth"? Has he come?
The original text is lost and verification cannot be made now, But the last clause "for he shall not speak of himself; but whatsoever he shall hear, that shall he speak"... refers to none other that the Holy prophet Muhammad also known as al-Amin (the truthful one) who did not speak for himself, but the words of God revealed to him.
Nevertheless, the actual name of Muhammad is mentioned in the Gospel of St. Barnabas 163:180 thus:
"Jesus answered: He is Muhammad, the Messenger of God".
Similar instances of misinterpretation and alteration occur in the Torah supposedly in the Pentateuch of the God Testament. The truth is contained in the Quran 5:51:
"And unto the (Muhammad) have we revealed the Book with the truth, confirming whatever Scripture was before it, and a watcher over it. So judge between them by that which Allah hath revealed, and follow not their desires away from the truth which hath come unto thee..." Thus the above verse shows that after the corruption of the older revelations, the Quran comes with a tow fold purpose:



  • to confirm the true and original Message and
  • to guard it or act as a check to its interpretations.

Surah 5 verses 47 and 50 ordain the People of Gospel and the Law (Torah) to judge only by what God has revealed. Revelation
Quran 42:51 tell how revelation comes to man, thus:
"It is not fitting for a man that Allah should speak to him except by:



  • inspiration; or
  • from behind a veil, or
  • by the sending of a Messenger to reveal, with Allah's permission
    what Allah wills: for He is Most High, Most Wise."


Revelation is not only universal but also progressive according to the need of time and development of the prophet- Muhammad s.a.w. as in Quran 5:4:
"This day have I perfected your religion for you, completed My favour upon you and have chosen for you Islam as your religion."
That was the last verse revealed to our prophet. All religions were from God. But when man started to tamper with the word of God, doubts and differences occur. And these bred sceptics, hypocrites, atheists and unbelievers, bringing more and more woes to the world, instead of bringing unity among mankind under the banner of God. And those who have been endowed by God the knowledge of Quran, the Holy Book of Truth, they are constantly reminded of the purpose of the Quran as revealed to our Holy Prophet in Quran 16:64:
"And We sent down the book to thee the express purpose that thou should make clear to them those things in which they differ, and that it should be a guide and a mercy to those who believe." The Quran of Furqan. "Read! In the name of thy Lord and Cherisher who created: Created man out of a clot of congealed blood.
Read! And thy Lord is most Bountiful. He who taught (the use of) the Pen. Taught man that which he knew not".
That was the first Divine Message revealed to Muhammad s.a.w. The were recited by Jibrail (Gabriel), the Archangel, to the Holy Prophet in the Cave of Hiraa on the night of 17th in the month of Ramadhan (fasting month) during the 41st year of Muhammad's life. To believe in the Quran is to have faith in it as the words of God.
Since that night, henceforth called Lailatul Qadar-the Grand Night-for a span of twenty-two years-over 12 years in Mecca and 10 years in Madina, the Divine revelations were delivered to him until 9th Zulhijjah, Hijrah 10. On that date, while performing the Haji Akbar or Haji Wada'-farewell Pilgrimage-the last message was revealed to the Holy Prophet:
"This day have I perfected your religion for you and completed My favour upon you and have chosen for your Islam as your religion". Eighty-one days after this final revelation, the Holy Prophet passed away at the age of sixty-three.
The revelations came piece-meal-verse by verse. There are altogether 6,666 verses although some school would say 6,240. Each verses was committed to memory by Muhammad who could not read or write. His Companions and followers however wrote the verses on date leaves, camel bones and goat skins and the record was testified by the Holy Prophet.
The arrangement of the Quran was a part of the Divine scheme. Under Divine guidance, the verses were grouped into 114 surahs or chapters of varying lengths. Ninety-two of the surahs were revealed in Mecca while the rest in Madina. The Meccan surahs are thus called Makkiah and those of Madina, Medaniah.
The Meccan revelations, are mainly on faith in God, monotheism, ethics and life hereafter. The Mediniah is chiefly intended to translate that faith in to action through the principles of Islam and Iman (faith), the laws governing Man's deeds and actions while some of the Madina verses dwell on State matters.
In fact, the Quran besides teaching Man of his obligations of God, reveals to Him the manner of conduct towards mankind and society. The Holy Book not only abounds in moral teachings but also a wealth of sciences yet to be explored. Al-Quran also shows the Way to success in life.
In 25 A.H. Huzaifah ibni Al-Juma'an who had just returned from the battlefields in Armenia and Azerbaijan was reported to have to Caliph Othman that he had heard several variations in the recitation of the Holy Quran in several Muslim countries. At once, Caliph Othman ordered the compiler, Zaid ibni Thabit to make several copies of the Holy Quran, so that "there would not arise any differences with regard to the Quran as in the case of al-Taurat, Zabur and Injil".
Today, although millions of copies have been printed, al-Quran has not lost its originality. Not even a dot or a line has been abrogated in the course of over 1,400 years of its existence.



4.Belief In Prophets

Man is animal - a higher animal" so goes the saying.
However, the mind in man makes him different from the animal.
The mind is the greatest gift that God has bestowed upon man. Tamed and cultivated the mind can control matter, yet subservient to God. Wild and unschooled, the mind is able to master the forces of destruction and turn rebellious to God. Hence, although man is endowed with intellect, he has to be instructed, preached to and shown examples for his upliftment in line with his destiny in this world - to be the vice-regent of God-as in Surah 2:30
It takes a man to guide a man, for a man has emotions and ever confronted with all kinds of temptations unlike angles. Thus God chose among human beings, men whom He raised as prophets to guide men to attain perfection. But the guidance comes from His as He warned in Surah 2: 38-39: "When there comes to you a guidance from Me, then who so follows My guidance, no fear will be on them, nor shall they grieve. But those who reject Faith and belief Our signs, they shall be companions of the fire; and there, they shall abide." Belief in All prophets
Although every people, generation or nation has had its prophet, Islam enjoins its followers to believe in all the prophets as ordained by God in Surah 4:152: "Those who deny Allah and His apostles, and those who wish to separate Allah form His apostles, saying: "We believe in some but reject others," and those who wish to take a middle course, they are in truth unbelievers; and We have prepared for unbelievers a humiliating punishment."
"To those who believe in Allah and His apostles and make no distinction between any of the apostles, We shall give their due rewards for Allah is All Forgiving and Most Merciful." According to a hadith the number of prophets is 124,000 but the Quran mentions only 25 of them namely, Adam, Nuh (Noah), Hud, Salih, Ibrahim (Abraham), Lut (Lot), Ismail (Ismael), Ishaq (Isaac), Yaqub (Jacob), Yusuf (Joseph), Shu'aib, Yunus (Jonah), Ayub (Job), Musa (Moses), Harun (Aaron), Daud (David), Sulaiman (Soloman), Zakaria (Zachariah), Yahya (John the Baptist), Elias (Elijah), Dzulkifli (Ezekiel), Elisha, Idris, Isa (Jesus) and Muhammad. In surah 40:78 Allah revealed to Muhammad s.a.w. "We did aforetime send apostles before thee: of them there are some whose story We have not related to thee." An outstanding aspect of the Islamic belief in prophethood is that Muslims believe in and respect all the messengers of God with no exceptions. Since all the prophets came from the same One God, for the same purpose - to lead mankind to God - belief in them all is essential and logical; acceptiong some and rejecting others has to be based on miconceptions of the prophet's role or on racial bias. The Muslim are the only people in the world who consider the belief in all the prophets of God as an article of faith. Thus the Jews reject Jesus Chirst and Muhammad (PBHU) : the Christians reject Muhammad (PBUH) and in reality reject Moses because they do not abide by his laws. The Muslims accept them all as messengers of God who brought guidance to manking. However, the revelation which those prophets brought from God had been tampered with in one way or another. The belief in all the messengers of God is enjoined on the Muslim by the Quran: "Say (O Muslims) : we believe in Allah and that which is revealed to us and that which was revealed to Abraham and Ismael, and Isaac and Jacob, and their children, and that which Moses and Jesus received from their Lord. We make no distinction between any of them and Unto Him we submit The Quran continues in the following verses to instruct the muslims that this is the true and imperial belief. If any other nations believe in the same, they are following the right track. If they do not, they must be following their own whims and biases and God will take care of them. Thus we read: "And if they believe in what you believe, then they are rightly guided. But if they turn away, then they are in disunity, and Allah will suffice you against them. He is the Hearer, the Knower. This is God's religion and who is better than God in religion?" (2:137-38) Attribute of Prophets
What type of beings are the prophets?
Prophets were all human beings since human beings alone could serve as models and become reformers of mankind.
According to Surah 21:7-8: "...The apostle we sent before thee were men to whom We granted inspiration. Ask the people of the Book if you know not. Nor did We give them bodies that ate food; nor were they exempt from death." Besides being human, they are:
  • Siddiq : Truthful and righteous;
  • Amanah : Faithful and trustworthy;
  • Tabligh : Never withhold what has been revealed to them;
  • Fatanah : Intelligent and sagacious; and
  • Sinless :

Miracles
Miracles which occurred uring the life of several of the prophets should not be attributed to powers of the prophets or certain faculties of the prophets, like Musa's splitting the sea nad drowning Pharoah and his army; Yunus' deliverence from fish's mouth; and Isa' a raising the dead to life, restoring sight to the blind and curing all kinds of ailments. A prophet has to effect a moral and spiritual transformation. In a society "seeing is believing" miracles became just a means to appeal to the reasoning faculty.
The miracle of Islam is the Holy Quran. It has transindividuals and families; societies and nations. It has awakened the material as well as the moral, intellectual as well as the spiritual being in a man. Prophecy
While miracles are generally the manifestation of the powers of Allah, prophecy gives prominence to God's knowledge which comprehends the future as well as the past and present. Among the prophecies, the triumph of Islam finds a prominent place in the Holy Quran.
These prophecies were revealed when Muhammad s.a.w. stood alone against the mighty forces of polytheism and idolatry. True to the prophecy, Muhammad s.a.w. succeeded in delivering the message of The Unity of the Divine Being, and inviting the people of the world to obey this Being and to do good to their fellow men. And thus Muhammad s.a.w. becomes the world prophet as in Surah 25:1: Blesses is He Who sent down the Criterion upon His servant that he ammy be a warner to all the people of the world. Unlike his predecessors Nuh, Hud, Salleh, Shu'aib - each of whom was raised to be the prophet "to his people" and Musa, was commanded to "bring forth thy people from darkness into light" (14:5) and Isa is spoken of as "a messenger to the children of Israel" Finality of Prophethood
With the appearance of the world-Prophet in the person of Muhammad s.a.w. comes the truth of Surah 2: 213:
"All the mankind are one single community..."
We have seen how Islam sweep away all barriers of geographical, colour, racial-to unify the human race under the banner of One God.
A religion brought to perfection whereby one has only to seek in the Quran to find the requirements of the present-day world or for the future generations. For no other religious book has ever claimed thus as in Surah 5 Verse 3 of the Holy Quran: This day have I perfected for you your religion and completed on My blessing.
With the perfection of religion comes the finality of prophethood for there is no need for another prophet and another religion after the Holy Prophet Muhammad and Islam. Muhammad s.a.w. appeared some six hundred years after the prophecy of Jesus. It is now nearly fourteen hundred years after the advent of Muhammad without any other prophets.



5.Belief In Life After Death


In the same way that Muslim believe in God although they cannot see Him, we are slso required to believe in Life after Death, although no dead man has ever come back to tell us his story.
However in the Quran, in Surah 23: verses 99 and 100, and in many other chapters and verses, God has revealed to us what happens to those who have refused to believe:
"Until, when death approaches one to them, he says, "My Lord, send me bacl (to life), so that I may do right in that which I have left undone. "By no means. It is a mere word that he speaks. And behind them is a barrier (barzakh) until the day they are raised up."
From these two verses we can see that:
  • there is continuity of life immediately after 'death':
  • the period spent in the grave is an intermediate one, between death and resurrection:
  • the life hereafter is eternal unlike the life on earth which is rasitory, as a preparation for the higher life;
  • the fruit of our actions or deeds on earth is accordingly shown to us immediately after death; hence the need to live a virtuous life.

Physical & Spiritual Development
Thus our life is a continuous development of our physical and spiritual being. The Holy Quran has indicated the three stages of physical development namely the stages of dust or clay, embryo and birth. There are also three stages of spiritual development which can also be identified with the physical one thus:



PHYSICAL DEVELOPMENT





STAGES





SPIRITUAL DEVELOPMENT





Dust





Preparatory





Death





Embryo





Formative





Grave





Birth





Development





Resurrection



We all know that we were created from dust or clay like our forefather, Adam. The clay contains the elements with which we will be moulded. This is the preparatory stage of our physical development. Surah 23:12 states:
  • "Verily, We created men from the product of we earth."

Verses 13 and 14 the same Surah further indicates the formative stage of physical development thus;
  • "Then We placed him as a drop (or seed) in a safe lodging. Then We made the drop a clot; then We made that clot a little lump; then We clothed the bones with flesh..."

Birth
And finally the verse shows us the fully developed human being in a new form, unlike the dust from which he was created: "… and then We developed out of it another creature. So blessed be Allah, the Best of Creators!"
In this developed staged, we are endowed with a body, a soul and mind, or in other words, physical and spiritual being and intellect. This is the most critical stage of our development for whatever physical action we commit on our fellow creatures and how we react to situations in this life on earth have a certain bearing on our spiritual development, which is very essential for the next step in our life as in verses 15 of the same Surah:
"After that, at length you will die." Death
Death, like dust in our physical development is only the beginning stage into a higher life. The fruits of our deeds in this world is immediately known to us as indicated by spiritual experience of evil one taken by death in verses 99 - 100 of Surah 23 at the beginning of this article.
Thus the virtues and vices we committed during our life on earth become, as it were, the elements for the next formative stage of our spiritual development - the grave or the intervening barzakh - like the embryo in the mother's womb during the physical development. Grave
According to a Hadith transmitted by Bukhari and Muslim, Muhammad s.a.w. is reported by Abdullah bin Umar, as saying, "When a person dies, his abode among the inhabitants of paradise will be shown to him morning and evening if he is to be one of them; but if he is to be one inhabitants of hell. His abode among them will not be shown him. He will be told that this is his abode to which God will finally raise him on the day resurrection."
We have only a glimpse of the happening immediately after death - the reward and the punishment in the grave but there are yet many secrets beyond our perception like Surah 32:17:
"No person knows what is kept hidden from them of joy as a reward for what they used to do." Resurrection
What resurrection means can be gauged from the various names under which it is referred to in the Holy Quran. The resurrection refers to a general destruction and a great awakening. The Holy Quran gives some vivid revelations on this great event in the following verses, which are found in the chapter entitled "The Awakening".
  • "He (the sceptic) asks "When is the day of Resurrection' When the sight is dazzle, and the moon becomes dark, and sun and moon are united. On that day man will cry: "Where can I run away to?" "Alas! There is no place of refuge…some faces on that day will beam in brightness and beauty looking towards their Lord and some faces on that day will be sad and dismal knowing that there will bade to befall on them some great calamity. : -Surah 75:6-25.
  • And the book (of deeds) shall be put forward, then youwill see the guilty fearing or account of what is in it, and they will say, "Ah! Woe to us! What a book this is! It does not leave out a small(deed) or a great one, but records them all." - Surah 18:49
  • "And the measuring out that day will be just; then as for those whose measure of good deeds is heavy, they shall be successful. And as for those whose measure of good deeds is light, those it is that have made their souls suffer loss."
Thus this world could be likened to an examination hall where we are constantly being tested and the result will be shown immediately after death. And the basis of the test is our deeds. And how does God weigh our deeds? Through the intention behind the deeds. I have touched on life immediately after death in the grave and the resurrection when our deeds on earth will be put on the 'balance' and a just reward will await us. According to a Hadith transmitted by Bukhari the Holy Prophet said, "Allah says I have prepared for My righteous servants what no eyes has seen and no ear has heard, and what the mind of man has not conceived." "Furthermore, Ibn Abbas is reported to have said, "In Paradise there are no foods of this life except the names." The Resurrection brings a new life and a new order of things, a new heaven and a new earth. Our ideas of space and time on this earth cannot be applied to the next life. That also goes with man-woman relationship in the Hereafter. There is no sensuality now suggestion of procreation in Paradise. In fact on one can paint the exact picture of what the blessings in Heaven and the punishments in hell are as in Surah 32:17
No person know what delights of the eye are in store for them as a reward for their good deeds."
Dwellers of Paradise
Generally those whose good deeds outweigh the bad ones will have a place in Paradise. There are four classifications of people according to various spiritual experinces gained in this life, namely:-
  • the prophet who taught and led mankind; lovers of truth who upheld it with their person, influence and resources; and the witnesses who testified to the truth either by martydom, the tongue of the true preacher, the pen of the devoted scholar or the life of the man devoted to service; and good people who led ordinary lives but always in righteous way, these will be bestowed with the Grace of God and united in a beautiful fellowship thus a s in Surah 4:69:
  • "All who obey God and the Apostles are in the company of those on whom is the Grace of god - the prophets, the sincere, the witnesses and the righteous: and what a beautiful fellowship they make." and again:
  • The righteous will be amid gardens and fountains of clear flowing water. Their greetings will be 'Enter ye here in peace and security." And we shall remove from their hearts and lurking sence of injury. They will be brothers, joyfully facing each other. There no sense of weariness shall touch them, nor shall they ever be asked to leave. Surah 15:45-48
    Again, it is our deeds that decide our life in the Hereafter, The Holy Quran states in Surah 43;72-74:
  • This will be the garden or which you are made heirs for your good deeds in life. You shall have therein abundance of fruit, from which you shall have satisfaction." However, in Islam, the greatest sinner has the opportunity to redeem himself in this life by repetence, for God is Most Merciful and Oft-Forgiving and He promises in Surah 39:53-54:
  • "Says: O my servants who have transgressed against their souls! Despair not of the Mercy of god: for God forgives all sins: for He is Oft-Forgiving, Most Merciful. Turn ye to your Lord in repentence: bow to His will, before the penalry comes to you: after that ye shall not be helped …"

Life in Hell
When death overtakes sinner before they repent, they will become the citizens of Hell,
  • "And verily, Hell is the promised abode of them all! To it are seven gates: for each of these gates is a special class for sinners." Surah 15:43-44

Every man's Hell will take its shape according to his evil deeds ensuing from atheistic belief or polytheism, hypocrisy, base passion and evil practices, oppression of the innocent, sensuality and iniquity or vicious activities.
  • Jahim - intense heat produced by leaping flames of fire;
  • Saqar - the excessive heat melting everything;
  • Laza - sweeping flames of fire;
  • Jahannam - deep pit;
  • Hutama - that which crushes and grinds everythiung to powder;
  • Sa'ir - blasting fire; and
  • Hawiah - bottomless pit.

Like the heaven or paradise described in symbolic terms too is hell. A man's Hell is within his own heart as in Surah 104:4-9:
  • "He will surely be cast into the crushing fire; and what shall cause thee to understand what the crushing fire is ; It is the fire kindled by Allah which rises from the hearts verily rising over them like a vault on outstreched columns."
    What punishment awaits those who disbelieve in God and the sinners? Surah 22:19-22 states;
  • "Those who deny their Lord, for them will be cut out a garment of Fire and over their heads will be poured out boiling water. With it will be scalded what is within their bodies as well as their skins. In addition, there will be maces of iron to punish them. Every time they wish to get away from it all, they will forced back therein, and (it will be said unto them)"Taste you the penalty f burning!" As for their drink and food, the Holy Quran states:
  • "The tree of Zaqum. We have truly made it an ordeal to the wrong-doers. It is a tree that springs out of bottom of Hell-fire: Surely they will eat of it and fill their bellies with and then they will be given a mixture of boiling water to drink." Surah 37:62-67
    Several verses in the Quran state that sinners will have chains around their necks symbolic of those who were slaves of their lusts and those who were not capable of independent thinking. Some will be in scoarching wind and scalding water with no food except the filthy wash of their wounded bodies or thorns which will neither nourish them from hunger while some will be clothed in shirts of pich. The torment or punishment in hell is continuous. When any part of the body loses its sensitiveness, fresh skins will be substituted so that they will be constantly subject to pain. This is indicated inSurah 4:46:
  • "Those who reject Our signs. We shall soon cast them into the fire as often as their skins are roasted through. We shall change them for fresh skins so that they may taste the torments. For God is Mighty, Wise." Such is the contrast in life after death that we now see how important is every deed of ours in this world toward God and His creatures. While the promise of reward in Paradise persuades us to aspire towards a higher spiritual life, the punishment in Hell deters us from evil deeds and baser from of life. It is our deeds in this would that decide our abode in the next for;
  • "Every man's deed have We fastened on his own neck. On the Day of judgement We shall bring out for him a scroll which he will see spread open. Read your own record: only you, you alone on this day make out an account against you" Surah 17:13-14


6.Belief In Taqdir

True Muslims believe in Taqdir as ordered by Allah. Those who believe in Fatalism are not true Muslims. Fatalism as we all know, asserts that all human activities have been predestines. Fatalism denies the freedom of will in man, thus dampening all enthusiasm for progress, besides destroying morality. There are several verses in the holy Quran which give the meaning of taqdir. Surah 25: verses 2 states: -
"He Who create everything, then ordained for it a measure (taqdir)"
This is further explained in Surah 36: 38-40 thus: "And the sun runs its course for a period determined for it: that is the taqdir (law) of the Mighty and the knowing. And as for the moon, We have measured for it stages till it returns like the old and withered palm leaf. It is not catch up the moon, nor can the night outstrip the day each floats in its own orbit according to law." From the above verses we can see that Allah created the universe and all the things in it with a certain purpose. To achieve that purpose a certain law has to be obeyed, the law, which is commonly, know as the law of Nature. For example in the solar system, if the sun tilts a bit from its position, some planets might be burn up while others might freeze.
Likewise, man, as a part of the universe has been created with a function to serve and has been endowed with certain faculties and capabilities related to that function.
To enable man to discharge his various function, Allah has endowed him with the necessary capabilities as in Surah 95: 4: "We have indeed created man in the best of moulds." With this best of moulds, he is to conquer nature; to elevate himself morally and spiritually through his dealings with his Creator and seek purity in life. For his conquest of nature, Allah has bestowed him intellect. In our lifetime, we have seen ourselves how man uses his intellect to probe into the unknown laws of nature that enable him through modern science to land on the moon. While man rejoices over his materialistic benefits, he still needs guidance to keep the peace among his fellow creatures on earth as well as to uplift his moral and spiritual being.
This guidance is provided by Allah through His book of revelations, in particular the Holy quran in Surah 5: 16-18: we read: "O people of the Book! There has come to you Our Apostle, revealing to you much that you used to hide in the book (Torah and Bible) and passing over much (that is now unnecessary): There has come to you from Allah a new light and a clear Book, wherewith Allah guides all who seek His good pleasure to ways of peace and safety, and leads them out of darkness, by His will unto the light - guides from to path that is straight." Going back to the people in despair over their first failure in life mentioned the beginning of this article, they should not commit unislamic acts. They should analyse themselves or open themselves to self-criticism.
To a true Muslim, failure and success like misfortune and prosperity are mere opportunities to exercise his dormant capabilities. Now that we know that we have been created with a certain measure (taqdir) for a certain purpose, when we "Have I gone beyond my capabilities or taqdir?" For in Surah 2:286, it is stated that: "On no, soul does Allah place a burden greater than it can bear." We should also ask "Have I transgressed the law (taqdir) ordained by Allah for me in performing my functions. From these simple questions we might be able to figure out what actually is our own specific purpose, for which we have been created in this world. Knowing our specific purpose in this universe will help us to pursue our ambition in the right direction. We can only know this after several trails and tribulations. The world has produced many great men who succeeded through their very failures. In fact, between misfortune and prosperity, the latter is a more severe from of trial. The Quran warns us that it is prosperity and plenty that often turn man away from Allah and Surah 64:15 keeps reminding us that: - "Your riches and your children are only a trial; but in the presence of Allah is the highest reward." Taqdir which recognizes freedom of human will makes a man responsible and accountable for his deeds. It makes man the ruler of the universe, harnessing the forces of nature to the service of man, bringing peace on earth and promoting love between man and his fellow beings. Together with the belief in Allah, Angels, Prophets, Scriptures and Life after Death we are also ordered by Allah to believe in Taqdir or Premeasurement. The belief constitute the Pillar of Faith or Iman essential for every muslim. Thus concludes the series with a reminder from Surah 35:8: "Is he, then, to whom the evil of his conduct is made alluring, so that he looks upon it as good (equal to one who is rightly guided ?)
For Allah leaves to stray whom He wills, and guides whom He wills. So let no your soul go out sighing after them: for Allah knows well all that they do!"


Wallahu A'lam..